Pada awalnya, penggunaan istilah “obligasi Islam” dianggap kontradiktif, karena obligasi sudah menjadi kata yang tidak lepas dari bunga. Namun, merujuk kepada fatwa Dewan Syariah Nasional No.32/DSN-MUI/IX/2002, Obligasi Islam adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip Islam yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi Syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo. Konsep keuangan berbasis syariah saat ini sedang tumbuh secara cepat. Perkembangan keuangan syariah merupakan kesempatan bagi pemerintah untuk menyediakan instrumeninstrumen keuangan yang dibutuhkan oleh lembaga keuangan syariah domestik maupun global agar dapat mengembangkan investasinya.
Selain daripada itu, penerbitan Sukuk Negara di pasar Internasional dipandang lebih efisien bila dibandingkan dengan penerbitan sukuk domestik. Hal tersebut dapat dilihat dengan cara membandingkan nilai imbal hasil yang diberikan Sukuk Global dengan Sukuk Negara yang diterbitkan di pasar domestik dengan jumlah tenor sama. Berdasarkan data yang ada, terdapat perbedaan selisih imbal hasil pada kisaran 300 sampai dengan 500 basis points (3-5%).
Obligasi merupakan surat utang dari suatu lembaga atau perusahaan yang dijual kepada investor untuk mendapatkan dana segar. Para investor akan mendapatkan return dalam bentuk tingkat suku bunga tertentu yang sangat bervariasi tergantung kekuatan bisnis penerbitnya (Sudarsono, 2012:247). Berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional No. 32/DSN-MUI/IX/2002, Obligasi Islam adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip Islam yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Peluang dan tantangan obligasi syari’ah
Peluang Pengembangan Sukuk di Indonesia, Sukuk merupakan salah satu instrumen investasi yang memberikan peluang bagi investor Muslim dan non-Muslim untuk berinvestasi di Indonesia. Sehingga, sukuk dapat dimanfaatkan untuk membangun perekonomian bangsa dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Fakta selama ini menunjukkan bahwa pasar sangat responsif terhadap penerbitan sukuk. Hampir semua sukuk yang diterbitkan, diserap habis oleh pasar, bahkan pada beberapa kasus menimbulkan kelebihan permintaan.
Dengan adanya sukuk, mereka memiliki alternatif investasi yang relatif aman dan return-nya cukup menggiurkan. Sebut saja misalnya sukuk Indosat, returnnya saat ini sebesar 16 persen. Bahkan, pada periode awal, return sukuk Indosat mencapai 17,82 persen. Keberadaan sukuk (surat utang berbasis syariah) dapat memperkuat kondisi ekonomi Indonesia dan menahan buble ekonomi karena akan memperbanyak portfolio mata uang asing selain dolar. Sukuk merupakan instrumen yang tepat untuk menyasar para investor Timur Tengah dengan memberikan alternatif pembiayaan sesuai syariat Islam. Saatnya Indonesia melakukan porfolio tidak hanya pada dolar saja, tetapi juga pada mata uang yang lain. Ini akan menambah porfolio mata uang asing di luar dolar (Fatah, 2011: 40).
Obligasi syariah dinilai prospektif, tetapi menghadapi tantangan yang tak sedikit (Achsien, 2004). Beberapa tantangannya antara lain:
- Sosialisasi yang belum cukup. Harus diakui bahwa masyarakat kita belum begitu terbiasa dengan sistem bagi hasil maupun sistem syariah lainnya. Padahal, potensi investor obligasi syariah dari ritel tergolong besar. Hal ini dimungkinkan karena denominasi obligasi syariah yang diterbitkan bisa senilai Rp 10 juta. Sekaligus menjadi edukasi bagi masyarakat untuk memulai berinvestasi dalam jangka yang lebih panjang, alih-alih hanya di deposito yang berjangka pendek.
- Opportunity cost yang secara sederhana diterjemahkan sebagai “second best choice”. Langsung atau tak langsung ada pembandingan atas pilihan yang ada. Karena investor base obligasi syariah secara potensial sangat luas, mau tidak mau, obligasi syariah berdasarkan bagi hasil akan menghadapi ini. Ilustrasinya, ketika obligasi syariah mudharabah ditawarkan, emiten membandingkan dengan suku bungapinjaman sementara investor (terutama investor konvensional) membandingkan dengan yield obligasi konvensional.
Karena sistem bagi hasil ini tidak menawarkan “fixed-predetermined return”, hasilnya bisa berfluktuasi. Misalnya suatu saat, obligasi syariah ini memberi tingkat kupon 20 persen, investor akan senang, tetapi sepertinya emiten akan merasa “kemahalan” karena membandingkan dengan pinjaman bank atau obligasi konvensional dengan bunga kupon lebih murah. Di saat lain, obligasi syariah memberikan kupon “hanya” 12 persen, emiten senang, tetapi investor akan membandingkannya dengan Sertifikat Bank Indonesia (SBI), obligasi pemerintah, atau obligasi konvensional lainnya. Memang opportunity cost, dan penurunan kinerja pendapatan ini menjadi salah satu risiko bagi investor obligasi syariah. Padahal, risiko investor di obligasi syariah sebetulnya mirip saja dengan investor obligasi dengan bunga mengambang. Berbedanya adalah, struktur syariah ini sesungguhnya lebih menawarkan “keadilan”.
(Lisa Nurhanifah, Mahasiswi STEI SEBI)