SEJARAH DAN KEUNIKAN RUPIAH (MATA UANG INDONESIA)

3 min read

Halo sobat rupiah… tahukah kamu bahwa mata uang rupiah Indonesia termasuk mata uang yang paling beragam dari sejarahnya.

Alat tukar mata uang yang digunakan pertama kali ketika masa kejayaan kerajaan Hindu-Buddha pada uang kerajaan di Nusantara sebagai koleksi Numismatik. Sebelum masa kerajaan Hindu-Buddha, perdagangan di Nusantara telah menuntut penggunaan alat pembayaran yang bisa diterima secara umum sebagai pengganti sistem barter.

Awal mula alat pembayaran yang digunakan masih sangat sederhana, seperti di wilayah Irian yang memakai kulit kerang dengan jenis tertentu, lalu di wilayah Bengkulu dan Pekalongan yang memakai manik-manik, dan di wilayah Bekasi memakai belincung (semacam kapak batu) sebagai alat pembayaran pada saat itu.


Pada masa kerajaan Hindu-Buddha, alat pembayaran mengalami kemajuan, terutama dari bahan dan desainnya. Misalnya di pulau Jawa, alat pembayaran sudah terbuat dari logam. Sekitar awal abad ke-12 mata uang tertua sudah dibuat dari emas dan perak, yang disebut Krisnala atau nama lainnya ialah (uang Ma) dari peninggalan kerajaan Jenggala. Sementara pada abad ke-9, di luar Jawa pada kerajaan Buton meninggalkan uang Kampua yang telah beredar.

Kemudian pada abad ke-15, ketika Islam berkembang di Nusantara, beredar berbagai mata uang yang dikeluarkan oleh kerajaan-kerajaan Islam, seperti mata uang dari Samudra Pasai, Aceh, Jambi, Palembang, Banten, dan Sumenep. Mata uang yang dikeluarkan pada umumnya bertuliskan Arab. Misalnya, Uang Kerajaan Jambi pada sisi belakang bertuliskan Arab “Sanat 1256” dan pada sisi depan “Cholafat al Mukmin”. Yang unik adalah uang Kerajaan Sumenep yang berasal dari uang asing dan kemudian diberi cap “Sumenep” dengan aksara Arab.

Selanjutnya ada yang mendominasi perdagangan di Nusantara yakni ​Kongsi dagang Belanda, VOC (1602-1799) berusaha menggantikan semua mata uang asing yang beredar di Nusantara. Untuk menggantikan Real Spanyol yang populer, dicetaklah uang Real Belanda. Selain itu, di Nusantara uang perak Belanda, Rijksdaalder, dijadikan alat pembayaran standar.

Pada tahun 1727, VOC mulai mengedarkan Duit (uang tembaga recehan) untuk menggantikan Cassie Cina. Lalu, pada tahun 1748, VOC memperkenalkan uang kertas dengan ber bentuk surat berharga (sertifikat).

Masa kerajaan sampai resmi dikeluarkan pertama kali oleh Bank Indonesia pada tahun 1953, untuk pertama kalinya uang kertas Bank Indonesia dengan tanda tahun 1952 beredar di Indonesia.  Sambutan baik masyarakat mendorong VOC untuk menambah jumlah sertifikat yang dijual, dengan nilai nominal yang bervariasi, mulai dari 1 sampai 1000 Rijksdaalder. Sejak 1783, namun VOC mengedarkan uang kertas dengan jaminan perak 100%.

Ketika masa Hindia Timur berada di tangan Inggris (1808-1815), Raffles berusaha memperbaiki keadaan keuangan di wilayah ini dengan menarik sekitar 8,5 juta Rijksdaalder dari peredaran, dan menghidupkan kembali Real Spanyol sebagai standar mata uang perak. Pada tahun 1813, Real Spanyol diganti dengan Ropij Jawa yang terbuat dari emas, perak, dan tembaga, yang dicetak di Surabaya.

Pada 1817, para Komisaris Jenderal Elout, Buyskes, dan Van der Capellen (1815-1819) yang memerintah Hindia Belanda atas nama Raja Belanda, untuk menggantikan Ropij Jawa akhirnya diterbitkan Gulden Hindia Belanda.

Pada tahun 1825, kemudian Raja Willem I mengusulkan agar didirikan suatu bank di Jawa.

Selain itu Pemerintah Jepang juga menerbitkan dan mengedar mata uang kertas yang disebut sebagai uang invasi. Pada tahun 1942 beredarlah emisi pertama berbahasa Belanda. Kemudian emisi kedua, dengan bertuliskan ‘Pemerintah Dai Nippon’, namun tidak sempat diedarkan. Emisi ketiga, bertuliskan ‘Dai Nippon Teikoku Seihu’, diedar pada tahun 1943. Setelah pasukan sekutu mendarat di Tanjung Priok pada 29 September 1945, komandan pasukan melarang penggunaan uang Jepang dan mengedarkan uang NICA (Netherlands Indies Civil Administration).

Pada awal kemerdekaan Indonesia, kondisi moneter negara sangat memburuk. Diperkirakan, ada sekitar 1,6 miliar tersebar di Pulau Jawa. Di wilayah Republik Indonesia, Pemerintah Indonesia tak dapat segera mencetak mata uang sendiri, karena keterbatasan dana dan tenaga ahli.

Pemerintahan menerbitkan Oeang Repoeblik Indonesia atau disebut dengan ORI yang mulai diedarkan pada Oktober 1946. Situasi keamanan yang tidak menentu membuat peredaran ORI tersendat-sendat. ORI tetap diedarkan secara gerilya dan terbukti mampu membangkitkan rasa solidaritas serta rasa nasionalisme rakyat Indonesia.

Setelah pada masa Agresi Militer Belanda, pemerintah pusat memberi mandat kepada para pemimpin daerah untuk menerbitkan mata uang lokal, ORI-Daerah, yang berlaku sementara di daerah masing-masing. Sejak tahun 1947, ORIDA (ORI Daerah) terbit antara lain di Provinsi Sumatra, Banten, Tapanuli, dan Banda Aceh.

Pada 1 Mei 1950, Pemerintahan RIS menarik ORI dan ORIDA dari peredaran, menggantinya dengan mata uang RIS yang telah berlaku sejak 1 Januari 1950.

Pada tahun 1953, untuk pertama kalinya uang kertas BI (Bank Indonesia) dengan tanda tahun 1952 beredar di Indonesia.

​Pada Oktober 1963, KR Rp (Rupiah Kepulauan Riau) diterbitkan untuk mengatasi penggunaan Dollar Malaya di wilayah Kepulauan Riau. Pada 1 Juli 1964, KR Rp ini ditarik dari peredaran, kemudian diganti dengan uang Rupiah yang berlaku umum di seluruh wilayah Republik Indonesia lainnya, kecuali di Irian Barat.

Setelah Irian Barat kembali ke dalam wilayah Republik Indonesia, Pemerintah dan Bank Indonesia mulai menerbitkan Rupiah Irian Barat pada Oktober 1963 untuk menggantikan Gulden yang berlaku sebelumnya di wilayah itu. Rupiah Irian Barat ditarik pada 1 Mei 1971.

Demi mewujudkan kesatuan moneter di seluruh wilayah Republik Indonesia, berdasarkan Penetapan Presiden No.27/1965 pada tanggal 13 Desember 1965 diterbitkan uang Rupiah baru sebagai alat pembayaran yang sah di seluruh wilayah Republik Indonesia. Bank Indonesia mendapatkan amanahnya dan wewenang untuk mengeluarkan semua jenis uang dalam berbagai pecahan. Pernerbitan uang Pemerintah yang terakhir adalah seri Soekarno tahun 1964.

Ada juga uang Token yang artinya uang dengan nilai nominal yang lebih tinggi daripada nilai materinya (nilai bahan untuk membuat mata uang). Misalnya nilai nominal uang tersebut Rp50.000, sedangkan nilai bahannya hanya seharga Rp 25.000. Penetapan nilai dan batas berlakunya uang token ditetapkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Uang token pada umumnya berbentuk uang kertas dan uang logam.

Uang token juga dapat berarti uang sementara yang dikeluarkan oleh badan usaha tertentu, misalnya perkebunan, lokasi perjudian, dan lokasi rekreasi, yang hanya berlaku di masing-masing lokasi tersebut. Uang token seperti ini dapat terbuat dari kertas, kayu, bambu, atapun logam, dengan berbagai bentuk seperti segitiga, segilima, atau bundar. Batas waktu dan persyaratan berlakunya uang token ini pun ditentukan oleh penerbit uang tersebut.

​Bank Indonesia juga menerbitkan uang khusus peringatan untuk memperingati peristiwa penting atau untuk tujuan tertentu. Uang ini dicetak dalam jumlah terbatas untuk diedarkan di kalangan kolektor dengan harga jual di atas nilai nominalnya.

Ketika terjadi krisis moneter, kebutuhan akan uang kertas meningkat drastis. Uang plastik pecahan Rp50.000 yang awalnya diterbitkan sebagai uang khusus peringatan, akhirnya terpaksa dikeluarkan demi memenuhi kebutuhan likuiditas perbankan.

Kemudian dibuat juga uang bersambung, ialah uang yang dicetak tanpa memotong kertasnya. Yakni uang yang berbentuk dengan menyatu satu sama lain. Uang tersebut memang sengaja dicetak dalam jumlah terbatas untuk konsumsi para kolektor. Namun, meski begitu uang tersebut tetaplah alat pembayaran yang sah.


Pada tanggal 1 Desember 2004, Bank Indonesia menerbitkan uang bersambung pecahan Rp20.000 dan Rp100.000, semuanya dalam dua lembaran dan empat lembaran. Kemudian Pada 20 Oktober 2005 terbit lagi uang bersambung pecahan Rp10.000 dan Rp50.000, keduanya juga dalam dua lembaran dan empat lembaran.

Sudah terbayangkan bagaimana banyaknya dan beragamnya aneka bentuk dan rupa dengan keberagaman mata uang rupiah Indonesia.


Penulis : Andina Rahayu

Prodi : Manajemen bisnis syariah STEI SEBI

Peran Pemimpin dalam Mengarahkan Manajemen Risiko…

Dalam sebuah organisasi, risiko adalah elemen yang tidak dapat dihindarkan. Tidak ada proses bisnis atau strategi yang benar-benar bebas dari kemungkinan kegagalan, kerugian atau...
Sonia Nadila Putri
1 min read

Pentingnya Manajemen Risiko dalam Menghadapi Ketidakpastian…

Di tengah ketidakpastian ekonomi yang semakin meningkat, manajemen risiko menjadi elemen krusial bagi kelangsungan dan pertumbuhan organisasi. Setiap perusahaan, baik besar maupun kecil, menghadapi...
Tegal Trending
3 min read

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Seedbacklink