Lembaga boleh memberlakukan ketentuan sanksi kepada karyawannya (yang tidak disiplin) agar disiplin menjalankan tugasnya dengan syarat disepakati, diberlakukan secara adil, dan dana tersebut sebagai ganti rugi atas real cost yang dialami oleh lembaga atau menjadi dana sosial jika tidak ada real cost. Kesimpulan tersebut berdasarkan penjelasan berikut. Bolehnya hal tersebut dengan syarat-syarat berikut. Pertama, sanksi diberlakukan secara adil termasuk besarannya dan disepakati antara lembaga dan karyawan agar tidak merugikan karyawan, tetapi dipahami sebagai upaya lembaga untuk mendisiplinkan karyawan dan membantu agar menunaikan tugas dengan optimal. Kedua, denda atau sanksi materi tersebut bisa di kategorikan salah satu di antara dua opsi berikut: (a) dikategorikan sebagai ganti rugi (ta’widh) apabila ketidakdisiplinan tersebut mengakibatkan lembaga mengalami kerugian riil. Kerugian riil tersebut boleh dibebankan kepada karyawan, misalnya dengan cara dipotong dari gaji bulanannya. Hal ini sebagaimana hadis Rasulullah Saw.: Tidak boleh merugikan diri sendiri dan orang lain.” (HR Ibnu Majah, Ahmad, dan Malik). Sebagaimana Fatwa DSN tentang Ganti Rugi: Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain. Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas. Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad. (Fatwa DSN Nomor 43/ DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi). (b) Atau dana tersebut sebagai sanksi (ta’zir) apabila tidak ada kerugian riil yang dialami oleh lembaga akibat ketidaksiplinan tersebut, dana ini menjadi dana sosial. Walaupun tidak sama dengan nasabah bank syariah, beberapa ketentuan hukumnya masih relevan, salah satunya fatwa DSN: “Sanksi didasarkan pada prinsip taʼzir, yaitu bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya. Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani. Dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial.” (Fatwa DSN Nomor 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran). Kesimpulan hukum beserta kriteria di atas juga berdasarkan keputusan Lembaga Fikih Organisasi Konferensi Islam yang memperbolehkan asy-syart al-jaza, yaitu pemberian sanksi kepada pihak yang melanggar aturan lembaga dan nyata merugikan counterparty-nya. Hal ini juga sesuai dengan dalil yang memperbolehkan pengganti atas kerugian yang dialami dan bolehnya pemberlakuan syarat sesuai kesepakatan. Sebagaimana hadis Rasulullah Saw. Dari ‘Amr bin ‘Auf’ : “… Dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR Tirmidzi). Dan sesuai dengan maqashid syariah: kinerja dan produktivitasnya terjaga (hifdzul maal min janibil wujud) serta bertujuan mendisiplinkan karyawan agar bisa menunaikan kewajibannya. Wallahu ‘alam..
SANKSI TERLAMBAT DATANG KANTOR MENURUT PANDANGAN ISLAM
1 min read