Pentingnya Mempelajari Ijarah Di Kehidupan Sehari Hari

2 min read


Pengertian al-Ijarah

Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti al’iwadhu atau berarti ganti. Dalam Bahasa Arab, al-ijarah diartikan sebagai suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian sejumlah uang. Dan dapat diartikan sebagai suatu perjanjian yang bertujuan untuk memindahkan manfaat (hak guna) suatu barang selama periode masa berlaku akad Ijarah, yaitu setelah pembayaran upah sewa, tanpa diikuti oleh pergantian kepemilikan atas barang tersebut.

Secara terminologi, ada beberapa defenisi al-ijarah yang dikemukakan oleh para ulama fiqh.

Pertama, ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan: “transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan.”. Kedua, ulama syafi’iyah mendefinisikannya dengan “transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah, dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu”. Ketiga, ulama Malikiyah dan Hanabilalah mendefinisikannya dengan: “pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan”.

Menurut Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No.09/DSN/MUI/IV/2000, ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri, dengan demikian dalam akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya pemindahan hak guna saja dari yang menyewakan kepada penyewa.

Landasan Syariah

1. Al-Qur’an

Dalil tentang kebolehan transaksi al-ijarah dapat dipahami dari nash al-Qur’an di antaranya QS. Ath-Thalaq: 6

اَسْكِنُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِّنْ وُّجْدِكُمْ وَلَا تُضَاۤرُّوْهُنَّ لِتُضَيِّقُوْا عَلَيْهِنَّۗ وَاِنْ كُنَّ اُولَاتِ حَمْلٍ فَاَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ حَتّٰى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّۚ فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۚ وَأْتَمِرُوْا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوْفٍۚ وَاِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهٗٓ اُخْرٰىۗ

Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.

Qs. Ath Thalaq : 6

Penjelasannya : adanya jasa yang diberikan sehingga berkewajiban membayar upah (fee) secara patut. Dalam hal ini termasuk di dalamnya jasa penyewaan atau leasing. Upah dalam ayat ini disebutkan dalam bentuk umum, mencakup semua jenis sewa-menyewa (ijarah).

2. Al-Hadis

Kebolehan melakukan transaksi ijarah didasarkan juga kepada hadis, di antaranya hadis yang diriwayatkan dari ibnu Aisyah ra. bahwa: sewa-menyewa atau ijarah hukumnya boleh. Hal itu dipahami dari hadis fi’liyah Nabi saw yang menyewa dan memberikan upahnya kepada penunjuk jalan yang memandu perjalanan beliau bersama Abu Bakar ra. Sebab Nabi Muhammad saw merupakan suri teladan yang baik untuk diikuti.

Rukun al-Ijarah

Menurut ulama Hanafiyah, rukun al-ijarah itu hanya satu, yaitu ijab (ungkapan menyewakan) dan qabul (persetujuan terhadap sewa menyewa). Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa rukun al-ijarah itu ada empat, yaitu :

  • orang yang berakad
  • sewa/imbalan,
  • manfaat,
  • shighat (ijab dan qabul).

Prinsip-Prinsip Pokok Transaksi al-Ijarah

Menurut Islam prinsip-prinsip pokok al-ijarah haruslah dipenuhi oleh seseorang dalam suatu transaksi al-ijarah yang akan dilakukakannya. Prinsip-prinsip pokok tersebut adalah :

  1. Jasa yang ditransaksikan adalah jasa yang halal
  2. Memenuhi syarat sahnya transaksi al-ijarah
  3. Transaksi ijarah haruslah memenuhi ketentuan dan aturan yang jelas yang dapat mencegah terjadinya perselisihan antara kedua pihak yang bertransaksi.

Berakhirnya Akad al-Ijarah

Para ulama fiqh menyatakan bahwa akad al-ijarah akan berakhir jika:

  1. Obyek hilang atau musnah
  2. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad al-ijarah telah berakhir.
  3. Wafatnya salah seorang yang berakad.
  4. Apabila ada uzur pada salah satu pihak.

Al-Ijarah dalam Perbankan Syariah

1. Perbedaan al-Ijarah dengan Bunga

Dipandang dari hukum Islam, tampaknya pembayaran sewa tidaklah bertentangan dengan etika ekonomi Islam, karena adanya perbedaan besar antara sewa dan bunga. Tetapi sepintas lalu baik sewa maupun bunga kelihatannya adalah satu dan sama, karena konon sewa atas tanah, atau harta benda, sedangkan bunga atas modal, yang mempunyai potensi untuk dialihkan menjadi harta benda atau kekayaan apa saja.

2. Jenis-Jenis al-Ijarah Dalam Perbankan Syariah

a. Ijarah Mutlaqah

Ijarah mutlaqah atau leasing, adalah proses sewa menyewa yang biasa kita temui dalam kegiatan perekonomian sehari-hari. Dalam konteks perbankan Islam, ijarah adalah suatu lease contract dimana suatu bank atau lembaga keuangan menyewakan peralatan (equipment), sebuah bangunan atau barang-barang, seperti mesin-mesin, pesawat terbang, dan lain-lain,

Para ahli hukum muslim membagi lagi ijarah mutlaqah menjadi dua bentuk:

  • Menyewa untuk suatu jangka waktu tertentu.
  • Menyewa untuk suatu proyek/usaha tertentu

b. Al-Ijarah al-Muntahia bit-Tamlik

Transaksi yang disebut dengan al-ijarah al-muntahia bit-tamlik (IMBT) adalah sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa. Sifat pemindahan kepemilikan ini pula yang membedakan dengan ijarah biasa.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa: Al-ijarah adalah akad pemindahan kepemilikan atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Konsep al-ijarah dalam perbankan syariah sama seperti sewa-menyewa pada umumnya, namun yang membedakannya adalah bahwa pada perbankan syariah ada suatu sewa yang pada akhir masa kontrak, diberikan pilihan kepada nasabah untuk memiliki barang tersebut atau tidak, yang biasa disebut dengan sewa beli, dan hal ini belum pernah terjadi di masa awal Islam.


Penulis : Nazwa Huda Aulia

Mahasiswi STEI SEBI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.