Kisah seorang mahasiswa yang bisa sukses menggapai cita-citanya – Kesulitan ekonomi bukanlah halangan untuk terus belajar. Apalagi jika kau memiliki orang-orang yang selalu mendukungmu. Pernyataan ini sungguh benar adanya. Aku berani mengatakannya karena hal itu sudah terjadi padaku. Aku terlahir dalam keluarga yang sederhana. Ayah sudah meninggal dunia saat aku masih kelas 2 SD. Ibu menghidupi keluarga dengan bekerja sebagai tukang cuci pakaian. Gaji ibu tidak seberapa, sehingga untuk makan pun terkadang kami kesulitan.
Kisah Kasmawati Sang Penakluk Impian
ilustrasi |
Di awal bulan, gaji Ibu turun. Setengah dari gaji tersebut digunakan untuk membayar utang di warung. Selebihnya digunakan untuk belanja bahan makanan pokok. Saat awal bulan itulah kami bisa makan tiga kali sehari dengan gizi yang cukup. Menjelang akhir bulan, bahan makanan yang tersedia sudah hampir habis, hampir setiap hari kami makan dengan lauk mie instan. Bahkan, pernah kami hanya makan nasi tanpa lauk. Untung saja Ibu cerdas, ia memasak nasi tersebut dengan santan sehingga kami masih bisa makan dengan nikmat.
Di sekolah, aku hampir tidak pernah jajan. Ibu memang tidak pernah memberiku uang jajan. Uang jajan selalu kudapatkan sendiri. Sejak belum bersekolah, aku sudah terbiasa bekerja mencuci piring di warung Bibi. Dari situ, aku mendapatkan upah Rp500 sehari. Jika rambutan di halaman rumah berbuah, aku pun selalu menjualnya di pasar. Saat Bibi sudah tidak lagi membuka warung, aku sempat tidak bekerja. Namun, tidak beberapa lama kemudian aku diperbolehkan bekerja di rumah usaha kerupuk teman kelasku.
Di sana, aku biasa membantu menyiapkan bahan baku dan membungkus kerupuk. Saat itu aku sudah kelas 5 SD, tidak heran jika gajiku sudah lumayan, Rp15.000 seminggu. Saat kelas 2 SMP, aku kembali kehilangan pekerjaan. Keluarga temanku ini pindah ke daerah lain. Jadilah aku diminta tetangga yang lain untuk bekerja sebagai tukang setrika pakaian. Namun itu juga tidak berlangsung lama. Akhirnya, saat kelas 3 SMP aku diminta tetanggaku untuk mengajar membaca anaknya yang masih TK. Itu adalah pekerjaan terakhirku sampai saat ini.
Sejak SD hingga SMA, perjalanan akademikku tidak pernah tersandung kesulitan ekonomi. SD-ku (SDN 008 Ujung Tanjung) dan SMP-ku (MTsN Ujung Tanjung) memiliki kebijakan untuk menggratiskan SPP untuk siswa/i yang sudah tidak memiliki ayah. SMA-ku (MAN Insan Cendekia Serpong) memberikan beasiswa 100% gratis kepada seluruh siswa/i yang bersekolah di sana. Meski begitu, saat akan kuliah di ITB aku mendapatkan sedikit cobaan. Kalau dipikirpikir, mungkin cobaan itu datang untuk menguji apakah aku serius ingin melanjutkan studi atau tidak.
Sehari sebelum berangkat ke Bandung untuk daftar ulang mahasiswa baru ITB, aku dipanggil oleh Paman dan Bibiku. Mereka merisaukan keadaan ekonomi keluargaku dan keinginanku kuliah di ITB. Mereka menyuruhku untuk mempertimbangkan lagi keinginanku itu. Ibuku sudah tua, keluarga kami bukan orang punya.
Bagaimana nanti jika aku hanya dapat kuliah setengah jalan karena kesulitan ekonomi? Mereka takut aku akan menjadi stress, kemudian gila. Aku sudah menjelaskan pada mereka bahwa aku menerima beasiswa BIDIKMISI, tidak hanya uang kuliah saja yang gratis tetapi aku juga akan mendapatkan living cost per bulan. Mereka mengkhawatirkan beasiswa tersebut akan putus di tengah jalan atau tidak turun sehingga tetap memintaku untuk kuliah di dekat rumah saja.
Saat itu aku benar-benar hampir putus asa, tidak tahu entah bagaimana lagi agar bisa meyakinkan Paman dan Bibi. Bahkan Ibu, kakakku, dan adikku pun hanya bisa terdiam. Aku tahu mereka mendukungku.
Tetapi apa yang dikatakan oleh Paman dan Bibi memang benar adanya. Bahkan, biaya untuk perjalananku ke Bandung pun belum ada saat itu. Akhirnya aku pun menangis. Sambil terus berdoa agar ada jalan keluar, aku menelepon guru BP SMA-ku, Bu Rini. Saat itu sudah pukul 9 malam. Bu Rini kaget karena aku menelepon beliau malam-malam sambil menangis. Aku pun menceritakan semua permasalahanku pada beliau. Beliau menenangkanku dan berkata akan berusaha mencarikan jalan keluar. Setelah itu, aku menjadi agak tenang.
Dan keesokan harinya, Bu Rini meneleponku bahwa para guru SMAku sudah mengumpulkan dana bantuan untuk biaya perjalanan ke Bandung. Alhamdulillah, dengan nekad akhirnya aku bisa berangkat ke Bandung juga hari itu Hingga hari ini aku selalu bersyukur jika mengingat hal itu. Aku berterima kasih kepada Tuhan, keluarga, guru-guru, dan semua yang selalu mendukungku. Tanpa mereka, mungkin saat ini aku hanya akan dapat menangis, meratapi nasib mengapa tidak dapat kuliah di ITB. Alhamdulillah, Engkau memberiku orang-orang yang baik, Tuhan.
Mengingat apa yang sudah kuterima hingga saat ini, membuatku ingin melakukan hal yang berguna. Tidak hanya untuk aku dan keluargaku, namun juga untuk orang-orang yang bahkan tidak kukenal. Aku ingin menjadi seorang technopreneur. Mengaplikasikan ilmu yang sudah kudapat, menjadikannya bisnis yang bermanfaat bagi orang banyak. Menyediakan lapangan kerja, menyumbang untuk kemajuan ekonomi negara.
Cita-citaku ini lagi-lagi didukung oleh orangorang sekitarku, meski mereka tidak menyadarinya. Saat ini di himpunanku, HIMATEK (Himpunan Mahasiswa Teknik Kimia), sudah dibentuk Technopreneur Club. Klub ini baru dibentuk tahun ini. Entah kebetulan atau tidak, aku merasa inilah jalan yang ditunjukkan oleh-Nya. Sekali lagi aku bersyukur. Semoga memang inilah jalanku. Semoga apa yang kulakukan benar-benar berguna dan bermanfaat, karena aku tahu bahwa sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat.
Penulis : Kasmawati