Gerakan audit syariah modern sebagian besar didorong oleh pertumbuhan keuangan syariah dan urgensi untuk mereformasi sistem audit di lembaga keuangan Islam agar sejalan dengan prinsip-prinsip Islam. Mengingat terbatasnya peran audit konvensional dalam memenuhi tujuan syariah, para cendekiawan Muslim telah mengeksplorasi gagasan audit syariah yang akan bermanfaat bagi semua lembaga Islam dan mewujudkan tujuan suci syariah (maqasid al- syariah). Maqasid al-Syariah dan Auditing Syariah, secara harfiah berarti jalan lurus, memberikan panduan komprehensif tentang kehidupan manusia dan menentukan prinsip-prinsip yang bertujuan untuk melindungi kepentingan semua manusia. Maqasid al-Syariah adalah tujuan dan sasaran syariah.
Dapat kita lihat ruang lingkup, kerangka mekanisme pengawasan dan pengendalian atau audit harus konsisten dengan maqasid al- syariah dan harus ditujukan untuk menjamin maslahah semua pemangku kepentingan lembaga tersebut. Maslahah harus ditafsirkan secara komprehensif dalam prosedur audit untuk melindungi kepentingan pemangku kepentingan secara memadai. Dalam kerangka maqasid, audit harus mencakup seluruh kegiatan bisnis IFI, termasuk hal-hal non-keuangan seperti kebijakan bisnis, manajemen sumber daya manusia, dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan IFI (Islamic Financial Institution), dan fungsi periklanan pemasaran.
Beberapa pakar ilmuan menyebut audit syariah sebagai audit agama atau audit Islam, dan istilah-istilah ini telah digunakan secara bergantian di masa lalu. Namun, istilah audit syariah lebih banyak digunakan di zaman kontemporer karena mencerminkan bentuk audit yang komprehensif untuk IFI. Hingga saat ini, definisi audit syariah masih dikaitkan dengan tinjauan internal syariah. Dalam SGF (Shari’ah Governance Framework), audit syariah disebut sebagai penilaian berkala yang dilakukan dari waktu ke waktu untuk memberikan penilaian independen dan jaminan objektif yang dirancang untuk menambah nilai dan meningkatkan tingkat kepatuhan terhadap operasi bisnis IFI, dengan tujuan utama memastikan sistem pengendalian internal yang sehat dan efektif untuk kepatuhan syariah (Bank Negara Malaysia, 2010:23).
AOIFI (Accounting And Auditing Organization For Islamic FinancialInstitutions) tidak secara khusus membahas istilah audit syariah standarnya dan sebaliknya membahas tinjauan syariah dan audit eksternal secara terpisah. Studi mereka mengidentifikasi keterbatasan dalam mengandalkan jaminan kepatuhan syariah kepada pihak internal yaitu SSB ( Syariah Supervisory Board ) dan mengusulkan kerangka kerja yang efektif untuk memantau dan menilai syariah Kepatuhan. Berbagai penelitian lain telah menggali lebih jauh baik perspektif pemangku kepentingan yang berbeda tentang pengertian audit syariah (Ali & Shafii, 2014), faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas audit sesuai kriteria audit Islam. Beberapa pnelitian yang tlah di lakukan terkait hal ini, diantaranya oleh Yazid & Suryanto (2016), Fakhfakh (2017), dan Shahzad, Saeed, & Ehsan (2017).
Terlepas dari keragaman fokus oleh penulis di atas, tema yang paling umum adalah perlunya kerangka teoritis, praktis, dan peraturan yang tepat dari penilaian kepatuhan syariah di IFI dan lembaga Islam lainnya. Namun, anggapan tersebut agak sempit karena anggota SSB tidak memiliki kualifikasi yang baik dan juga cukup mandiri untuk melaksanakan tugas audit syariah sebagaimana dibayangkan dalam maqasid. Meskipun mereka mungkin menawarkan tingkat kenyamanan kepada pemangku kepentingan tentang kepatuhan syariah mengingat terbatasnya ketersediaan profesional dengan beasiswa syariah dan keterampilan keuangan, kemandirian dan akses mereka ke informasi kepemilikan khusus institusi telah dipertanyakan. Di sisi lain, pemberdayaan auditor eksternal untuk melakukan audit syariah juga menimbulkan dilema, karena belum tentu memiliki keahlian dan kualifikasi di bidang syariah.
Konsepsi Ideal Audit Syariah fondasinya didasarkan pada pandangan dunia Islam, Tidak seperti audit konvensional, di mana ruang lingkup spesifik keterlibatan audit dan prosedurnya untuk diikuti dapat diidentifikasi, tidak demikian halnya dengan audit syariah. Audit syariah seharusnya tidak hanya menjadi perhatian dengan diperbolehkannya (halal) produk keuangan yang ditawarkan oleh IFI tetapi harus mencakup cakupan yang lebih luas. Di antara unsur-unsur keadilan sosial-ekonomi yang harus diupayakan antara lain memprioritaskan keuangan untuk mengangkat bagian masyarakat yang kurang beruntung, mencegah pembiayaan konsumsi yang tidak bermoral dan boros, mengembangkan hubungan majikan-karyawan yang adil, dan melepaskan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Oleh karena itu peran audit dalam lingkungan seperti itu adalah untuk memastikan bahwa elemen-elemen ini tercapai.
Selain mengaudit sistem pengendalian keuangan IFI, aspek lain seperti manajemen sumber daya manusia, pemasaran, operasi bisnis, penilaian perhitungan dan pembayaran zakat serta kontribusi sosial dan lingkungan IFI juga perlu mendapat perhatian dalam audit IFI. Namun, standar audit oleh AAOIFI secara khusus mengacu pada audit keuangan eksternal. Sementara itu, dalam mencapai kepatuhan penuh syariah, audit syariah harus dirancang untuk mencakup semua dimensi operasi dan kegiatan bisnis IFI.
Peran auditor syariah, banyak cendekiawan Muslim telah mengkritik peran auditor konvensional dalam kerangka Islam. Berbeda dengan auditor dalam kerangka kapitalis, auditor dalam ekonomi Islam bertanggung jawab kepada manajemen dan masyarakat pada umumnya dan pada akhirnya kepada Tuhan. Al-Abji (1989) mengkritik fungsi auditor konvensional pada perusahaan investasi syariah dan bank. Meski tidak secara spesifik membahas masalah audit syariah, namun ia menyoroti perlunya fungsi dan tanggung jawab auditor untuk direvisi untuk memenuhi persyaratan karakteristik unik investasi di bank syariah. Selain itu, auditor syariah bertanggung jawab dan bertanggung jawab kepada semua pemangku kepentingan dan juga bertanggung jawab kepada Tuhan.
Dalam hal siapa yang harus menjalankan fungsi audit syariah, standar oleh AAOIFI tampaknya menunjukkan bahwa fungsi tersebut harus didistribusikan ke entitas yang berbeda, yaitu SSB dan auditor eksternal. Sementara auditor eksternal diberi wewenang untuk melakukan audit keuangan sesuai dengan prinsip syariah, tugas SSB lebih komprehensif dalam memberikan pedoman (fatwa), meninjau dan mengawasi kegiatan IFI untuk memastikan bahwa IFI sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah.
Dapat kita simpulkan , bahwa audit syariah dengan cakupan yang lebih luas daripada audit konvensional diusulkan, yang dikenal sebagai audit syariah. Salah satu tantangan terbesar adalah menemukan auditor eksternal independen Dengan pengetahuan yang baik tentang Syariah dan siapa yang dapat membuat penilaian yang semestinya tanpa terlalu bergantung pada sarjana Syariah. Secara teoritis, ini memberikan jalan untuk melihat kembali ke dalam konsepsi idealis audit syariah dan membuat sketsa penelitian masa depan yang dapat merangkul masalah dan tantangan yang belum terselesaikan yang melekat pada subjek audit syariah.
Penulis : Aswa Arjilakusuma
Mahasiswa STEI SEBI