Muhasabah adalah salah satu cara membersihkan diri dari kesalahan-kesalahan yang pernah diperbuat. Seperti ketika kita sedang marah, hendaknya kita mengatasi kekuasaan nafsu amarah dengan selalu mengintropeksi dan menyelisihnya. Imam Ahmad meriwayatkan, “Orang yang berakal adalah orang yang dapat mengendalikan nafsunya dan beramal untuk persiapan sesudah kematian. Sebaliknya orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya kemudian ia berangan-angan kepada Allah (bahwa Allah akan mengampuninya)”.
Lalu Hasan Al-Bashari berkata, “Seorang mukmin itu pemimpin bagi dirinya sendiri. Ia mengintropeksi dirinya karena Allah. Sesungguhnya hisab pada hari kiamat nanti akan menjadi ringan, bagi mereka yang telah melakukan intropeksi di dunia. Sebaliknya, hisab akan terasa berat bagi mereka yang tak pernah berintropeksi”.
Muhasabah atau mengintropeksi diri itu ada dua macam yaitu : sebelum beramal dan sesudah beramal. Muhasabah sebelum beramal ketika seseorang sedang rehat saejenak, merenung di saat ingin melakukan keinginan pertama. Kemudian tidak bersegera melakukannya sampai lebih baik dari pada meninggalkannya. Sebagian ulama menjelaskan apabila diri tegak untuk melakukan sesuatu, pertama-tama ia harus merenung, apakah amalan itu mampu kita kerjakan atau tidak. Jika tidak ada kemampuan untuk melakukannya sebaiknya berhenti. Tetapi jika ia mampu, hendaknya ia berfikir apakah melakukannya lebih baik dari pada meninggalkannya atau sebaliknya. Jika ada keraguan dalam kedua-duanya maka ia mesti berhenti.
Selanjutnya muhasabah sesudah beramal itu ada tiga :
- Intropeksi diri atas berbagai ketaatan kepada Allah SWT yang telah dilalaikan.
- Intropeksi diri atas setiap amalan yang lebih baik ditinggalkan dari pada dikerjakan.
- Intropeksi diri atas perkara yang mubah, atas dasar apa ia melakukannya.
Oleh karena itu, hendaknya kita mengintropeksi diri lebih dahulu pada hal-hal yang wajib. Apabila terdapat kekurangan maka kita akan melengkapinya dengan pengganti atau perbaikan. Kemudian pada hal-hal yang diharamkan. Apabila kita pernah merasa melakukannya, maka secepat mungkin untuk bertaubat, beristiqhfar, dan mengamalkan perbuatan-perbuatan baik yang dapat menghapuskan doa. Apabila orang yang beriman saja diminta pertanggung jawaban atas kebenarannya dan dihisab atasnya. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang berduta?
Penulis : Hafsah Nur Syahidah
Mahasiswi STEI SEBI