Mendewasa Dalam Perbedaan

3 min read

Mendewasa Dalam Perbedaan – Saat berumur 16 tahun, saya mendapatkan kesempatan untuk mengikuti program pertukaran pelajar Youth Exchange and Study ke Pennsylvania, Amerika Serikat. Atas kehendak Allah, saya bisa mengikuti program yang dilatarbelakangi oleh tragedi 9/11. US Department of States membiayai program tersebut untuk menghapus misunderstanding antara masyarakat Amerika Serikat tentang penduduk di negara-negara mayoritas Muslim sejak terjadinya aksi terorisme tersebut. “Building Understanding” menjadi misi program yang saya ikuti dari Agustus 2011 hingga Juni 2012.
 

Mendewasa Dalam Perbedaan

Apalah yang dipikirkan oleh anak SMA yang ingin mencari pengalaman ke luar negeri saat itu? Sejujurnya saya belum begitu mengerti tentang misi “Building Understanding” setelah benar-benar menginjakkan kaki di negara adidaya tersebut. Saya baru benar-benar paham apa yang harus saya lakukan di sana saat akhirnya saya bertemu dengan keluarga angkat.
 
Saya diangkat oleh keluarga (host family) yang beragama Kristen. Selain saya, ada seorang pelajar lain dari Thailand yang diangkat oleh keluarga itu. Dia beragama Budha. Maka, ada tiga agama di dalam rumah yang saya tinggali hampir satu tahun. Bahasa Ingrris-lah yang mempersatukan kami. Walau terbata dan tentunya tidak selancar mereka orang Amerika, saya dan sahabat saya dari Thailand berusaha untuk beradaptasi di lingkungan yang baru tersebut. Kemampuan berbahasa menjadi sangat penting karena komunikasilah yang membuat kami bisa saling mengenal dan memahami. 
 
Suatu malam, setelah saya mempresentasikan tentang Indonesia dan Islam di hadapan kumpulan remaja di gereja, Dad (ayah angkat) mengajak saya berdiskusi empat mata. Saya tahu sudah lama ada yang mengganjal dari tatapannya kepada saya. Saya sadar ada sesuatu yang ingin ia tanyakan kepada saya. 
Akhirnya di malam musim semi itu (menjelang akhir program YES), kami duduk berdua sambil berdiskusi. Kami mendiskusikan beberapa poin dari presentasi saya. Di suatu titik, Dad akhirnya bertanya, “Kenapa kamu mau tinggal bersama kami? Bukankah Muslim tidak boleh berlindung kepada Non-Muslim?”
 
Saya pun akhirnya mengerti mengapa Dad masih kaku dengan saya. Dari awal saya tahu bahwa Mom (ibu angkat) yang ingin kami tinggal bersama mereka selama satu tahun. Dad hanya mendukung saja, ia yang menyarankan agar dua orang pelajar yang tinggal di rumah mereka karena akan terlalu sepi bila sendiri. 
Saya bersyukur akhirnya malam itu Dad membuka diskusi tentang hal yang selama ini mengganjal baginya. Jika tidak, tentunya misi saya gagal bahkan di rumah sendiri. 
Saya menjelaskan kepada Dad bahwa saya ditempatkan di sana atas kepercayaan AFS (organisasi internasional yang penempatan pelajar asing) kepada mereka. Saya juga tidak sepenuhnya di bawah kendali orang tua angkat. Saya di sana sebagai seorang tamu sekaligus dengan niat menuntut ilmu. Saya jelaskan bahwa yang dilarang adalah ketika saya mengikuti aturan dari non-muslim yang jelas salah menurut Islam dan tunduk terhadap kehendak di luar kebijaksanaan yang berlandaskan syariat Islam. 
 
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik (dalam urusan dunia) dan berlaku adil terhadap orang-orang (kafir) yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS AlMumtahanah: 8). 
 
Saya bacakan ayat itu kepada Dad. Dad pun tersenyum. Wajahnya mencair. Seketika kerut di keningnya menghilang, kerut yang biasa muncul setiap berdialog dengan saya. Dinding yang seakan memisahkan saya dan Dad selama berbulan-bulan akhirnya runtuh saat itu juga. 
 
Sejak saat itu saya mengerti betapa penting keinginan untuk memahami perbedaan. Setiap orang bisa saja terperangkap dalam spekulasi, stereotype, atau jebakan penilaian subjektif. Memahami tidak cukup dengan itu. Memahami diawali dengan perkenalan dan keinginan untuk belajar dari keberagaman yang ada. “
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Surat Al-Hujurat ayat 13) 
Saya sadar bahwa di Indonesia sendiri masyarakatnya begitu beragam. Ketika saya akhirnya merantau dari Padang menuju Bandung untuk kuliah, saya harus beradaptasi dalam keheterogenan lagi. Memang, kata orang ITB adalah miniatur Indonesia. 
Nilai yang saya pelajari saat pertukaran pelajar pun saya pegang sampai saat ini. Menginjak tahun tiga, saya tetap memegang teguh bahwa perbedaanlah yang memperkaya kehidupan kita sebagai manusia. Saya tidak menutup diri dari golongan-golongan lain, dari orang-orang yang mempunyai ideologi unik. 
 
Diskusi adalah budaya yang harus dipertahankan di negeri yang sangat heterogen ini. Dengan berdiskusi kita bisa saling mengenal dan memahami pola pikir orang lain. Dengan berdiskusi kita bisa mengerti budaya yang berbeda dari yang dulu diajarkan di rumah. Dengan berdiskusi anak bangsa bisa tumbuh dengan pikiran yang terbuka (open-minded).
 
Namun, ada satu hal yang perlu dipahami: diskusi adalah saling bertukar pikiran. Jangan kosong, kita seharusnya punya isi sebelum berdiskusi. Apa yang akan kita pertukarkan jika kita kosong melompong? Oleh karena itu, punyailah prinsip hidup sedini mungkin. Pegang erat nilai kebaikan hasil setiap tahap pendidikan yang sudah kita lalui atau nilai yang didapat dari setiap pengalaman hidup. Diskusi seharusnya menjelaskan tentang baik dan buruk di dalam otak, bukan semakin mengaburkannya. Imbangilah diskusi dengan asupan ilmu dari sumber lain seperti dari guru dan buku. 
Saya memimpikan Indonesia yang damai dan kuat dalam perbedaan. Perbedaanlah yang menyatukan. Dengan saling memahamilah damai tercipta. Kita harus menjadi anak bangsa yang mendewasa dalam perbedaan, menjaga damai dalam keberagaman. Ingatlah sejarah kekacauan negeri akibat divide at impera. Bukankah sejarah ada untuk diambil hikmahnya?  
 
Penulis : Mega Liani Putri 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Seedbacklink