Konsekuensi Akad Ariyah dalam Fiqih Muamalah Maliyah

2 min read

Kata Ariyah berasal dari Bahasa Arab yang diambil dari kata ‘ara yang berarti pergi (dzahaba) dan datang (ja’a). Menurut sebagian pendapat Al-Ariyah berasal dari kata (at-ta’awur) yang artinya saling tukar menukar, yaitu dalam tradisi pinjam meminjam. Sedangkan pengertian menurut istilah, pinjam meminjam adalah akad atau perjanjian yang berupa manfaat dari suatu benda yang halal dari seseorang kepada orang lain tanpa adanya imbalan, dan tidak boleh mengurangi ataupun mengubah barang tersebut supaya nantinya dapat dikembalikan lagi setelah diambil manfaatnya.

Dasar Hukum Ariyah

Akad Al-Ariyah merupakan akad yang dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah (Qurbah) yang berdasarkan kepada Al-Quran dan Sunnah.

Sesuai dengan dalil Al-Quran surat Al-Maidah ayat 2 :

Artinya : “… dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Bertakwalah kamu kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.”

Dalam Hadist Rasulullah SAW bersabda :

Artinya : “Pinjaman itu wajib dikembalikan dan orang-orang yang menanggung sesuatu harus membayar dan hutang harus ditunaikan.” (H.R. At-Tirmizi)

Jika seseorang tidak mengembalikan barang pinjamannya atau menunda waktu pengembalian, maka itu berarti ia berbuat tidak amanah kepada pihak yang menolongnya. Perbuatan semacam ini jelas perbuatan yang tidak terpuji, sebab selain tidak berterima kasih kepada orang yang melongnya, pihak peminjam itu sudah mendzalimi pihak yang menolongnya.

Menurut mayoritas Ulama Hanafiah rukun Ariyah hanya membutuhkan ungkapan ijab dari peminjam saja, sedangkan qabul dari yang meminjamkan tidak termasuk rukun karena cukup dengan menyerahkan barang kepada peminjam barang, hal tersebut berdasarkan dari Istihsan (perbuatan yang dianggap baik oleh syara’ dan adat istiadat). Tetapi ijab qobul ini juga boleh disampaikan.

Adapun menurut Jumhur Ulama dalam akad Ariyah harus ada beberapa unsur rukun seperti : Mu’ir (orang yang memberikan pinjaman), Musta’ir (orang yang mendapatkan pinjaman),  Mu’ar (barang yang dipinjamkan), dan Sighat (ungkapan ijab qabul/serah terima).

Macam-macam akad Al-Ariyah

  1. Ariyah Mutlaqah, yaitu pinjam meminjam barang yang dalam akadnya tidak dijelaskan persyaratan apapun atau tidak dijelaskan penggunaannya. Meskipun demikian, penggunaan barang pinjaman harus disesuaikan dengan adat kebiasaan dan tidak boleh berlebihan.
  2. Ariyah Muqayyadah, adalah meminjamkan suatu barang yang dibatasi dari segi waktu dan kemanfaatannya, baik disyaratkan oleh kedua orang yang berakad maupun salah satunya. Oleh karena itu, peminjam harus menjaga barang dengan baik, merawat dan mengembalikannya sesuai dengan perjanjian.

Konsekuensi akad Al-Ariyah

Akad Ariyah merupakan akad yang bersifat Tabarru’ (tolong-menolong) karena dalam akad ini pemilik barang yang dipinjamkan tidak mendapatkan imbalan atas manfaat barang pinjaman yang diterima pihak peminjam.

Konsekuensi memahami dan menjelaskan hakikat Ariyah dari sudut pandang yang berbeda, maka para ulama berbeda pendapat dari berbagai persepsinya, antara lain :

  1. Konsekuensi akad Ariyah menurut Ulama Hanafiah, bahwa penerima pinjaman, disamping secara langsung berhak memanfaatkan barang pinjaman berhak juga mengalihkan haknya kepada pihak lain dengan cara menyewakannya.  Alasannya adalah bahwa dalam akad Ariyah terkandung akad wakalah yang bersifat mutlak, yaitu pemilik barang telah memberikan kuasa penuh kepada peminjam untuk memanfaatkan barang pinjaman tersebut, dan pemberian kuasa penuh untuk mengambil manfaat barang pinjaman merupakan pemberian kepemilikan manfaat. Konsekuensinya adalah peminjam memiliki kebebasan untuk melakukan apapun dalam mengambil manfaat barang pinjaman, baik oleh dirinya sendiri maupun orang lain.
  2. Menurut Ulama Syafi’iah dan Hanabilah, penerima pinjaman hanya berhak memanfaatkan barang pinjaman untuk dirinya (tidak boleh dialihkan ke orang lain). Alasannya karena dalam akad Ariyah hanya mengandung izin pemanfaatan (bukan wakalah mutlak), oleh karena itu barang pinjaman hanya diizinkan diambil manfaatnya untuk diri sendiri.

Bentuk pemanfaatan barang pinjaman oleh peminjam, dalam perspektif Ulama Syafi’iah dan Hanabilah bersifat terbatas, yaitu jenis pemanfaatannya tergantung pada izin dari pemiliknya. Sedangkan Ulama Hanafiah berpendapat bahwa untuk pemanfaatan barang pinjaman bergantung pada bentuk akad pinjaman, apakah bersifat tidak terbatas (mutlak)  atau terbatas (Muqayyadah).

Berakhirnya akad Ariyah

Para ulama berpendapat bahwa akad Ariyah dapat berakhir disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut :

  1. Berakhirnya waktu yang sudah disepakati, khusus dalam akad yang dibatasi waktu (muqayyadah).
  2. Pihak yang meminjamkan barang tersebut (mu’ir) menarik atau mengambil barang yang dipinjamkan dari pihak yang meminjam (musta’ir) dalam keadaan yang memang diperbolehkan dalam hukum Islam untuk mengambilnya sehingga tidak merugikan pihak yang meminjam.
  3. Hilang akalnya salah satu pihak, baik yang meminjamkan atau yang dipinjamkan.
  4. Terhalang melakukan akad dikarenakan bodoh atau pailit.
  5. Rusak atau hilangnya barang yang dipinjamkan dengan adanya keharusan untuk memperbaiki (apabila rusak) atau mengganti (apabila hilang).

Ditulis oleh : Afifah Karimah, Ridha Nur Lathifah, Wafa Fauziyah (Mahasiswi STEI SEBI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.