Salah satu dari bayaknya maqashid (tujuan) syari’ah adalah kewajiban kita sebagai seorang muslim dalam bekerja, memproduksi, dan menginvestasikan harta. Kewajiban ini berdasarkan istiqra’ terhadap dalil-dalil yang memberikan makna pasti bahwa dalam bekerja dan produksi itu hukumnya wajib sesuai dengan firman Allah dalam Qur’an surat Al-Mulk ayat ke-15
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu. Maka berjalanlah di segala penjuru-Nya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya dan hanya kepada-Nya lah kamu kembali setelah dibangkitkan”.
Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan untuk berjalan di muka bumi ini untuk mencari rezeki Allah SWT. Dalam konteks maqashid, mencari rezeki menjadi wajib untuk menyediakan kebutuhan harta dari aspek wujud, karena tanpa bekerja tidak mungkin ada uang dan harta.
Merealisasikan hifdzul mal ( penjagaan harta ) dari sisi bagaimana cara kita mendapatkannya itu sama hal nya dengan harta yang sudah dimiliki . Syari’at ini memberikan hak kepada pengelola usaha dalam bentuk bagi hasil untuk mendapatkan keuntungan atas usahanya. Dan sebaliknya, ketentuan yang melarang pengelola usaha untuk mendapatkan haknya tersebut itu bertentangan dengan tujuan (maqashid)
Syari’at kewajiban bekerja dan memproduksi ini juga melindungi kepemilikan seseorang selama harta tersebut dihasilkan dengan cara-cara yang halal. Syari’at ini telah memberikan kewenangan dan hak kepada setiap pemilik barang/jasa untuk memanfaatkannya dan menggunakannya dengan cara-cara yang dibolehkan syari’at . Dan sebaliknya syari’at ini melarang setiap perilaku yang merampas hak kepemilikan ini dengan cara mencuri,merampas,dan merusak hak orang lain. Objek kepemilikan yang dilindugi oleh syariat ini mencakup 2 hal yaitu memiliki fisik barang tersebut dan memiliki manfaatnya.
Oleh karena itu , dilarang menghalangi dan mempersulit pemilik barang untuk mengelola dan memanfaatkannya karena bertentangan dengan maqashid syariah dalam melindungi hak kepemilikan setiap orang karena itu hasil kerjanya yang legal
Setelah bekerja,memproduksi, dan mendapat keuntungan dengan cara yang halal, maka ada maqashid selanjutnya dalam ekonomi syariah yaitu investasi harta. Investasi harta adalah salah satu tujuan yang Allah tetapkan dan harus dicapai dalam harta yang dimiliki oleh setiap orang. Seluruh ulama telah konsensus, bahwa investasi hukumnya wajib bagi setiap individu ataupun kelompok
Ketentuan ini bisa dilihat dari manhaj (cara) syar’i dalam mengatur masalah ini
- Bekerja itu hukumnya wajiib menurut syariat islam untuk merealisasikan maqashid syariah dalam rangka melindungi hajat harta dari aspek bagaimana cara kita menyediakan atau memperoleh harta. Agar keuntungan yang dihasilkan itu berasal dari usaha dan hasil kerja keras nya.
- Setelah memiliiki keuntungan, maka ia berhak untuk menggunakannya dan menginfakkannya sesuai dengan ketentuan syariah tanpa israf (berlebih-lebihan) dan tabzir ( pemubadziran ). Seorang mukallaf dengan keuntungan yang dimilikinya berapapun besarnya, maka harus diinfakkan sebagiannya untuk memenuhi hajat masyruah ( legal ) dan kelebihannya itu harus ditabungkan.
- Jika ada kelebihan harta setelah diinfakkan tersebut, maka dana tersebut tidak boleh didiamkan karena itu adalah penimbunan yang diharamkan meurut Al-Qur’an dan Al-Hadits, juga diharamkan karena bertentangan dengan maqashid syari’ah, yaitu kewajiban mengembanagkan harta sehingga terjadi penambahan produksi supaya bisa merealisasikan maksud Allah dalam menyiapkan kekuatan dalam umat ini untuk menghadapi musuh-musuh islam, sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al-anfal ayat 60
“ Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang ( yang dengan persiapan itu ) kamu menggetarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya.”
Dari aspek ekonomi, jika harta tidak diinvestasikan, ia hanya akan menjadi seonggok harta yang tidak berguna. Islam tidak menyukai adanya tindakan penimbunan harta yang sia-sia.
Jadi dengan argumen ilmu ekonomi kita berusaha menjelaskan bahwa salah satu maksud larangan penimbunan harta yang diatur dalam Q.S At- Takatsur adalah untuk meningkatkan kesejahteraan manusia itu sendiri. Demikianlah, kenapa Islam melarang membiarkan aset mengangggur, dan mendorong setiap kelayakan yang ada pada kita untuk diinvestasikan di sektor rill.
Di dalam buku Al-Ihya, Imam Ghazali juga mengecam orang-orang yang menimbun harta dan tidak ditransaksikan atau diputar di sektor rill.
“Jika seseorang menimbun dirham dan dinar, ia berdosa. Dinar dan dirham tidak memiliki guna langsung pada dirinya. Dinar dan dirham diciptakan supaya beredar dari tangan ke tangan, untuk mengatur dan memfasilitasi pertukaran (sebagai) simbol untuk mengetahui nilai dan kelas barang. Siapapun yang mengubahnya menjadi perlatan emas, maka ia tidak bersyukur kepada penciptanya dan lebih buruk dari pada penimunan uang, karena orang seperti itu adalah seperti orang yang memaksa penguasa untuk melakukan fungsi fungsi yang tidak cocok seperti menenun kain, mengumpulkan pajak, dan lain-lain. Menimbun koin masih lebih baik dari pada mengubahnya,karena ada logam dan material lainnya seperti tembaga, perunggu, besi, tanah liat yang dapat digunakan untuk membuat peralatan. Tetapi tanah liat tidak dapat digunakan untuk mengganti fungsi dirham dan dinar.”
Referensi
Buku Maqashid Bisnis & Keuangan Islam Karya Dr. Oni Syahroni, M.A dan Ir. Adiwarman A. Karim, S.E., M.B.A., M.A.E.P
Ditulis oleh : Ningrum Mutmainah
Mahasiswi STEI SEBI