Musyarakah Perspektif Fiqih.
Pengertian musyarakah Musyarakah atau sering disebut syarikah atau syirkah berasal dari fi’il madhi( شَرَكَ – يَشْرَكُ – شِرْكاً – وَشَرَكَة )yang mempunyai arti: sekutu atau teman peseroan, perkumpulan, perserikatan. Syirkah dari segi etimologi berarti : الا ختلاط mempunyai arti: campur atau percampuran. Maksud dari percampuran disini adalah seseorang mencampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya sulit untuk dibedakan lagi.
Definisi syirkah menurut mazhab Maliki adalah suatu izin ber-tasharruf bagi masing-masing pihak yang bersertifikat. Menurut mazhab Hambali, syirkah adalah persekutuan dalam hal hak dan tasharruf. Sedangkan menurut Syafi’i, syirkah adalah berlakunya hak atas sesuatu bagi dua pihak atau lebih dengan tujuan persekutuan.
Dasar hukum musyarakah.
Dasar hukum Musyarakah yaitu:
Pertama; Al-Quran. Dalam Al-Quran Allah SWT berfirman dalam surat Shaad ayat 24 yang artinya: “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat dhalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh.”.
Kedua, adalah Hadis, dalam hadis dinyatakan sebagai berikut: “Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Allah SWT berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang sedang berserikat selama salah satu dari keduanya tidak khianat terhadap saudaranya (temannya). Apabila diantara mereka ada yang berkhianat, maka Aku akan keluar dari mereka”(H.R Abu Dawud), .
Ketiga, Ijma’, Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni yang dikutip Muhammad Syafi’i Antonio dalam bukunya Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, telah berkata: “Kaum muslimin telah berkonsesus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan dalam beberapa elemen darinya.
Syarat dan rukun musyarakah.
Para ulama memperselisihkan mengenai rukun syirkah, menurut ulama Hanafiyah rukun syirkah ada dua yaitu ijab dan qabul. Sebab ijab qabul (akad) yang menentukan adanya syirkah. Adapun mengenai dua orang yang berakad dan harta berada di luar pembahasan akad seperti dalam akad jual beli. Dan Jumhur ulama menyepakati bahwa akad merupakan salah satu hal yang harus dilakukan dalam syirkah. Adapun rukun syirkah menurut para ulama meliputi;
1. Sighat (Ijab dan Qabul). Adapun syarat sah dan tidaknya akad syirkah tergantung pada sesuatu yang di transaksikan dan juga kalimat akad hendaklah mengandung arti izin buat membelanjakan barang syirkah dari peseronya.
2. Al-‘Aqidain (subjek perikatan). Syarat menjadi anggota perserikatan yaitu: a) orang yang berakal, b) baligh, c) merdeka atau tidak dalam paksaan. Disyaratkan pula bahwa seorang mitra diharuskan berkompeten dalam memberikan atau memberikan kekuasaan perwakilan, dikarenakan dalam musyarakah mitra kerja juga berarti mewakilkan harta untuk diusahakan.
3. Mahallul Aqd (objek perikatan). Objek perikatan bisa dilihat meliputi modal maupun kerjanya. Mengenai modal yang disertakan dalam suatu perserikatan hendaklah berupa: a) modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak, atau yang nilainya sama, b) modal yang dapat terdiri dari aset perdagangan, c) modal yang disertakan oleh masing-masing pesero dijadikan satu, yaitu menjadi harta perseroan, dan tidak dipersoalkan lagi dari mana asal-usul modal itu.
Jenis dan macam-macam musyarakah.
Pembahasan mengenai macam-macam syirkah, para ulama fiqih memberikan beberapa macam syirkah, sebagian ulama ada yang memperoleh syirkah tertentu dan ada yang melarang syirkah tertentu pula. Ulama fiqih membagi syirkah dalam dua bentuk, yaitu syirkah amlak dan syirkah uqud.
- Syirkah Amlak (perserikatan dalam kepemilikan) Syirkah Amlak berarti eksistensi suatu perkongsian tidak perlu suatu kontrak dalam membentuknya, tetapi terjadi dengan sendirinya serta mempunyai ciri masing-masing anggota tidak mempunyai hak untuk mewakilkan dan mewakili terhadap partnernya. Bentuk syirkah amlak ini terbagi menjadi dua yaitu: Syirkah Ikhtiari, ialah terjadinya suatu perkongsian secara otomatis tetapi bebas untuk menerima atau menolak. Otomatis berarti tidak memerlukan kontrak untuk membentuknya. Hal ini dapat terjadi apabila dua orang atau lebih mendapatkan hadiah atau wasiat bersama dari pihak ketiga.
- Syirkah Uqud Syirkah Uqud yaitu sebuah perserikatan antara dua pihak atau lebih dalam hal usaha, modal dan keuntungan. Mengenai syirkah al-uqud ini para ulama membagi menjadi bermacam-macam jenis, Fuqaha Hanafiyah membedakan jenis syirkah menjadi tiga macam yaitu, syirkah al-amwal, syirkah al-a’mal, syirkah alwujuh, masing-masing bersifat syirkah al-mufawadhah dan ‘Inan. Dan fuqaha Hanabilah membedakan menjadi lima macam syirkah yaitu Syirkah al-’inan, syirkah al-mufawadhah, syirkah al-abdan dan syirkah al-wujuh serta syirkah al-mudharabah dan yang terakhir menurur fuqaha Malikiyah dan Syafi’iyah membedakanya menjadi empat jenis syirkah yaitu syirkahal-’inan, syirkah al-mufawadhah, abdan dan wujuh.
Tujuan dan manfaat musyarakah.
Tujuan dari pada syirkah itu sendiri adalah memberi keuntungan kepada karyawannya, memberi bantuan keuangan dari sebagian hasil usaha koperasi untuk mendirikan ibadah, sekolah dan sebagainya. Salah satu prinsip bagi hasil yang banyak dipakai dalam perbankan syariah adalah musyarakah. Dimana musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek dimana nasabah dan bank secara bersama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.
Musyarakah Perspektif Perbankan Syariah.
Musyarakah dalam perbankan Islam merupakan sebuah mekanisme kerja (akumulasi antara pekerjaan dan modal) yang memberi manfaat kepada masyarakat luas dalam produksi barang maupun pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat. Kontrak musyarakah dapat digunakan dalam berbagai macam lapangan usaha yang indikasinya bermuara untuk menghasilkan keuntungan. Beberapa konseptor perbankan syariah menggunakan pengertian musyarakah sebagai partisipasi dalam investasi terhadap suatu usaha tertentu, yang dalam bank-bank Islam digunakan dalam pengertian yang lebih luas. Jadi, musyarakah dapat digunakan untuk tujuan investasi dalam jangka waktu pendek dan jangka waktu panjang. Adapun pembiayaan musyarakah yang digunakan bank syariah meliputi: musyarakah dalam perdagangan, keikutsertaan untuk sementara, keikutsertaan untuk selamanya.
Akad musyarakah yang digunakan di perbankan syariah telah sesuai dimana akad musyarakah terdapat ijab qabul, adanya subyek perikatan yaitu pihak bank dengan nasabah, serta adanya objek perikatan yaitu adanya modal yang dicampurkan antara modal nasabah ditambah dengan modal dari bank untuk melakukan usaha, yang dicatat dalam kontrak untuk menghindari sengketa. Apabila dalam pelaksanaan musyarakah terjadi penipuan atau ada unsur gharar maka musyarakah yang dilakukan hukumnya batal.
Implementasi musyarakah dalam perbankan syariah dapat dijumpai pada pembiayaan-pembiayaan seperti:
- Pembiayaan Proyek.
Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut, dan setelah proyek itu selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.
- Modal Ventura.
Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan, musyarakah diaplikasikan dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap.
Dengan demikian musyarakah yang digunakan dalam bank Islam bentuknya bervariasi, bank syariah tampaknya cenderung dominan menggunakan bentuk musyarakah dalam perdagangan untuk jangka waktu pendek, meskipun bentuk lainnya tetap dipergunakan. Dalam pembiyaan musyarakah kontribusi modalnya berasal dari bank dan nasabah, pihak bank mengawasi bagaimana usaha musyarakah dijalankan, hingga bank memastikan menerima pengembalian investasi awal yang diberikan beserta keuntungan yang diperoleh. Bank juga meminta berbagai macam garansi yang dijadikan untuk melindungi kepentingannya dalam usaha tersebut, dan dengan garansi ini kelihatannya bank berusaha melempar segala resiko usaha musyarakah kepada nasabah.
Penulis : Fakhrul Islam
Mahasiswa STEI SEBI