Hak Pekerja Dalam Islam

3 min read

Hak Pekerja Dalam Islam – Islam merupakan agama yang sempurna, di dalamnya mengandung berbagai perintah dan larangan-Nya yang meliputi seluruh aspek kehidupan. Salah satunya adalah hubungan anatara majikan dengan pekerja. Dimana terdapat hak dan kewajiban yang adil untuk keduanya.

Bekerja merupakan aktivitas yang mulia. Dengan bekerja, seseorang dapat melaksanakan perintah-perintah Allah seperti zakat, infak, dan sedekah. Bahkan Rasulullah SAW menempatkan posisi terhormat bagi mereka yang berinfak hasil dari kerjanya sendiri. Rasulullah SAW bersabda : “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.”

Manusia pasti masih membutuhkan manusia lainnya, entah dalam bekerja atau yang lainnya. Dalam pekerjaan, manusia yang memperkerjakan orang untuk bekerja di perusahaan ataupun usahanya tentu harus memberikan upah serta hak pada setiap pekerja.

Dengan memberikan hak kepada para pekerja yang sudah melakukan kewajibannya, para pekerja akan merasa dihargai kerjanya dan semakin tambah semangat bekerja. Rasulullah SAW bersabda dalam hadits berikut. Dari Abdullah bin Umar ia berkata, Rasulullah SAW bersabda “Bayarlah upah pekerja sebelum keringatnya mengering”. dalam hadits tersebut Rasulullah SAW menerangkan kepada umat islam untuk memanusiakan manusia. Apabila tidak segera atau bahkan hingga tidak memberikan haknya kepada para pekerja, maka ia akan menjadi musuh Rasulullah kelak di hari kiamat.

Kerja adalah usaha yang diserahkan oleh manusa dalam jalan menciptakan manfaat ekonomi baik secara materi atau maknawi. Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan. Islam mewajibkan setiap muslim khususnya yang memiliki tanggungan untuk bekerja. Allah memerintahkan kepada manusia agar bekerja dalam Quran surat At-Taubah ayat 105 yang artinya “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”

Ada tiga kelompok pekerjaan

Yang pertama, pekerjaan dengan tangan contohnya keterampilan tangan. Adapun dalil yang menjelaskan “tidaklah seorang (hamba) memakan makanan yang lebih baik dari hasil usaha tangannya (sendiri)” H.R. Bukhari
Yang kedua, pekerjaan pemikiran (otak) yang membutuhkan pemikiran bukan material. Contohnya, guru ataupun hakim.
Yang ketiga, pekerjaan yang menggabungkan antara akal pikiran dengan material. Contohnya berdagang, bertani, dokter dan insinyur.

Manusia memiliki perbedaan kemampuan dan keistimewaannya dalam lingkaran kerja mereka baik dalam kelapangan atau kesulitan, upah ataupun gaji mereka pun sama sesuai pekerjaan yang mereka kerjakan. Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur segala aspek kehidupan manusia. Terutama tentang hak-hak seorang pekerja dari yang mempekerjakannya. Hal ini tentu agar tidak terjadi penindasan dan ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban yang dimiliki oleh setiap pekerja. Pekerja lebih sering disebut dengan buruh. Menurut KBBI Indonesia, buruh adalah orang bekerja untuk orang lain dan mendapatkan upah. Berikut ini merupakan beberapa hak-hak pekerja yang harus dipenuhi oleh mereka yang mempekerjakannya :

  • Diperlakukan layaknya saudara

Islam menganjurkan agar umatnya saling menyayangi. Bahkan dalam salah satu hadits menjelaskan bahwa seorang buruh hendaknya diperlakukan layaknya seorang saudara oleh pemilik usaha tersebut.
“Para pekerja adalah saudaramu yang dikuasakan Allah kepadamu. Maka barang siapa yang mempunyai pekerja hendaklah diberi makanan sebagaimana yang ia makan, diberi pakaian sebagaimana ia pakai, dan jangan dipaksa melakukan sesuatu yang ia tidak mampu. Jika terpaksa, ia harus dibantu.” HR. Ahmad
Dengan demikian, buruh dan pemilik usaha berada pada level kemanusiaan yang sama. Walaupun ada perbedaan derajat.

  • Beban kerja tidak boleh melebihi kemampuannya

Pekerja sebaiknya diberi tugas sesuai dengan kemampuannya. Pemilik usaha hendaknya memperhatikan nilai-nilai kemanusaan saat mempekerjakan orang lain. Seperti memberi waktu istirahat, jaminan keselamatan, hingga menyegerakan pemberian upah.
Dari Abu Dzar Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah SAW bersabda :
“Janganlah kalian membebani mereka (pekerja), dan jika kalian memberikan tugas kepada mereka, bantulah mereka.” HR. Bukhari

  • Segera dibayarkan upahnya

“Berikanlah kepada pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” HR. Ibnu Majah
Dalam islam pekerja harus dibayar upah sesuai dengan bekerja dan kesepakatan di awal kerja. Selain itu islam justru menganjurkan untuk membayar upah pekerja segera mungkin. Upah dalam islam bukan hanya berbentu uang saja, melainkan bisa memberi upah dengan cara memberikan rumah.
Dari mustawrid bin Syadad, Rasulullah bersbda, “Siapa yang menjadi pekerja bagi kita, hendaklah ia mencarikan istri (untuknya), bila ia tidak mempunyai tempat tinggal, hendaklah ia mencarikan tempat tinggal.”

  • Dilarang mendzaliminya

“Rasulullah SAW tidak pernah memukul dengan tangannya sedikitpun kepada wanita, tidak pula kepada budak.” HR. Muslim dan Abu Daud
Dzalim bukan hanya tentang berperilaku kasar secara mental dan fisik, bisa juga dzalim karena tidak membayar upah yang sudah menjadi haknya dan hal-hal lain yang tidak sesuai dengan syariat islam.
Abu Hurairah R A, Nabi Muhammad SAW meriwayatkan, bahwa Allah berfirman : “Ada tiga orang yang akan menjadi musuhnya pada hari kiamat, yaitu orang yang berjanji dengan menyebut nama-ku lalu dia mengingkari janji, orang yang menjual orang orang lalu ia menikmati hasil penjualan sendiri, dan orang yang mempekerjakan orang lain namun setelah orang tersebut bekerja dengan baik upahnya tidak dibayarkan.” HR. Bukhari.

  • Pemilik usaha senantiasa bersikap tawadhu dan berwibawa di hadapan pekerja

Setiap pemilik usaha harus bersikap rendah hati, ramah, tidak somong kepada setiap pekerjanya

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda,
“Bukan orang yang sombong, majikan yang makan bersama budaknya, mau mengendarai himar (kendaraan kelas bawah) di pasar, mau mengikat kambing dan memerah susunya.” HR. Bukhari dan Baihaqi.

Sumber Referensi :

Muhammad Abdul Mun’im al Jamal, Mausuah al Iqtishod al Islami (Beirut: Darul Kitab al Mashri1980 M) hlm.100-101 dan lihat juga Dr Ibrahim

Abu Ubaidillah Muhammad bin Ismail al Bukhari, Sahih, Bukhari, (W. 256 H) Kairo : Thob’ah Mathobi’ asy Sya’b, tahun 1387 H

Muslim daily

Ditulis oleh: Khairun Nisa Azka Sujatmiko (Mahasiswa STEI SEBI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Seedbacklink