Fenomena Boneka Arwah

2 min read

Fenomena Boneka Arwah

Fenomena Boneka Arwah, Apa pendapat PSIKOLOG sampai KPAI, dan MUI?- Boneka arwah sendiri yakni boneka tertentu yang “dipercaya” memiliki arwah dari anak kecil yang meninggal di dalamnya. Oleh karenanya, boneka arwah atau spirit doll ini diyakini tidak seperti boneka pada umumnya. Bahkan, ia dianggap bak seorang anak kecil.

Fenomena Boneka Arwah

Memiliki boneka arwah menjadi tren baru yang menghebohkan. Fenomena mengadopsi boneka arwah sendiri mulai muncul di tahun 2016. Namun boneka tersebut mulai menjadi tren di pertengahan 2021. Tak seperti boneka biasa, boneka arwah ini dihargai sampai jutaan rupiah. Bahkan, bebrapa boneka ini sudah diisi arwah, yang diklaim dapat mengerti perasaan si pemilik.

Kegunaan boneka arwah biasanya untuk melakukan meditasi atau menyembuhkan trauma mendalam. Menurut pembuat boneka Julia Inglis disitus miliknya, Scared Familiar, boneka arwah digunakan sebagai cerminan diri sendiri sang pemilik . “Boneka arwah bisa menjadi cermin atau jembatan ke diri Anda yang mungkin tidak bisa diekspresikan”, tulis Inglis.

Boneka tersebut diperlakukan layaknya manusia, diajak bicara, diberi pakaian, dan dianggap layaknya anak sendiri. Salah satu artis yang mengadopsi boneka tersebut berkata dia memperlakukan boneka layaknya seorang anak, diberi peralatan bayi, bahkan ada pegawai nya yang diperuntukan menjaga sang boneka tersebut.

Psikolog Klinis Ciputra Medical Center, Christina Tedja angkat bicara terkait fenomena ini. Christina mulanya menyinggung fenomena di Jepang terkait pernikahan dengan benda mati seperti boneka.

Ia menganggap fenomena di Jepang itu seperti fenomena adopsi boneka arwah yang saat ini sedang tren di Indonesia. Christina menilai orang yang mengadopsi boneka arwah menjadi ‘anak’ merasa tidak nyaman dengan lingkungannya.

“Sama halnya dengan mengasuh boneka sebagai anak sendiri, biasa orang yang menggunakan benda mati sebagai pasangan hidup atau dianggap sebagai individu yang hidup bersama merasa kurang nyaman degan orang di sekitarnya, merasa tidak dapat menjadi diri sendiri, atau merasa ingin diterima sepenuhnya namun tidak ia dapatkan,” ujar Christina kepada detikcom, Senin (3/1/2022).

Sehingga para pengadopsi, terang Christina, merasa dapat diterima sepenuhnya jika memiliki boneka arwah tersebut. “Dengan memelihara benda mati sebagai pendamping hidup, mereka dapat merasakan perasaan diterima sepenuhnya tanpa dikritik,” tuturnya.

Christina menambahkan para pengadopsi selayaknya mengetahui bahwa yang dirawatnya adalah benda mati. Namun, mereka merasa nyaman karena hal itu sehingga tidak mempermasalahkannya.

“Berbeda dengan kasus-kasus yang ‘memaksa’ atau mempercayai bahwa benda mati yang mereka asuh atau mereka jadikan pasangan adalah benda bernyawa. Biasanya kalau sudah seperti itu ya kita bisa anggap sebagai delusi ya. Memiliki pemahaman yang salah,” imbuh Christina.

Meski begitu, Christina tak menampik kemungkinan adanya maksud tertentu para selebriti mengadopsi boneka arwah. “Tapi kalau dalam dunia entertainment, mungkin ada metode-metode seperti itu untuk mempromosikan sesuatu,” pungkasnya.

MUI pun buka suara, seperti diketahui, fenomena spirit doll atau boneka arwah semakin ramai dibahas masyarakat setelah beberapa selebriti mengaku merawatnya seperti anak sendiri. Mereka juga mulai memamerkannya kepublik melalui sosial media. Salah satunya artis, Ivan Gunawan.

“Punya boneka mainan itu boleh, tapi kalau itu diisi atau dipersepsikan tempat arwah hukumnya tidak boleh memelihara makhluk halus. Kalau disembah musyrik tapi kalau berteman saja berarti berteman dengan jin,” kata Cholil kepada wartawan, Senin (3/1/2021).

“Fenomena ini sangatlah miris. Dan inilah tantangan untuk publikasi pemerintah dalam mendorong kondisi anak-anak terlantar kita yang kalah populer dengan pengangkatan anak boneka arwah,” ujar Kadivwasmonev KPAI, Jasra Putra kepada jatimnow.com, Selasa (11/1/2022).

Menurut Jasra, para pemilik boneka arwah perlu menjadi bagian gerakan pemerintah dalam menyiapkan orang tua pengganti. Karena manfaatnya sangat banyak. Karena sebagai negara yang harus ramah terhadap alam, ancaman bencana selalu menjadi teman kehidupan di Indonesia. Seringkali dalam setiap peristiwa baik bencana, konflik, sosial meninggalkan anak-anak yang kehilangan figur pengasuhnya.

“Mereka butuh kehadiran, yang layaknya orang tua bagi mereka. Agar dapat perhatian penuh dalam tumbuh kembangnya. Karena Indonesia meyakini anak-anak yang terlepas dari keluarga bisa berkembang baik, bila pengasuh penggantinya menerapkan sistem keluarga,” jelasnya. Belajar dari beberapa bencana alam dan bencana pandemi, kata Jasra, anak-anak yang mendadak kehilangan orang tua. Artinya perlu mendapatkan segera pengganti keluarga.

Begitupun anak yang kehilangan orang tua karena perceraian, orang tua berhadapan dengan hukum, anak dalam masa pidana, anak dalam lembaga pengasuhan atau lembaga serupa yang menjadikan anak diasuh di luar keluarga. “Untuk itu sangat penting sebelum itu semua terjadi. Negara memiliki daftar orang tua yang siap mengasuh mereka. Apalagi orang tuanya para publik figur atau artis. Tentu sangat baik,” paparnya.

“Tapi kelihatannya program pemerintah ini kurang populer di tengah masyarakat. Sehingga ada masyarakat yang membandingkan dan menyayangkan fenomena menjadi orang tua dari boneka arwah, dengan kebutuhan daftar orang tua pengganti di negara ini,” tambah pria yang juga pernah menjabat Sekjen Forum Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak dan Panti Sosial Asuhan Anak itu.

Sementara berdasarkan data yang dihimpun KPAI, pemerintah mencatat di tahun 2020 ada sebanyak 67.368 data anak terlantar di Indonesia. Itupun terus bertambah dengan kasus bayi dibuang atau terlantar, yang juga sewaktu waktu terus menghiasi media.

Belum lagi ribuan lembaga asuhan dan lembaga serupa pengasuhan yang tidak terdaftar di pemerintah yang mengasuh anak terlantar. “Begitupun anak-anak yang kehilangan mendadak orang tua. Selama pandemi ini saja telah mencapai 30.766 anak. Dan belum semua mendapatkan intervensi yang terus menerus, dan pemerintah mencari para calon orang tua pengganti, agar mendapatkan solusi yang lebih permanen,” pungkas Jasra.

Ditulis Oleh: Husnun Maulidina (Mahasiswi STEI SEBI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.