Penulis : Syamsul Rizal ( Mahasiswa STEI SEBI )
Untuk memahami konsep modern akan lebih mudah kalau dilacak dari akar katanya. Secara etimologis term modern berasal dari bahasa Latin “moderna” yang berarti sekarang, baru, atau saat ini. Atas dasar itu, manusia dikatakan modern sejauh kekinian menjadi pola kesadarannya. Dalam bahasa Indonesia istilah modern sendiri adalah adjektive (kata sifat), di mana dalam gramatikal Indonesia sebuah adjektive apabila ditambahi dengan “isasi” berarti mempunyai makna proses, jadi modernisasi merupakan sebuah proses modern. Kata sifat ini akan mempunyai arti lain lagi, bila dibubuhi dengan “isme”. Karena menunjukkan paham, kredo, atau aliran, maka modernisme mempunyai makna paham tentang modernitas. Kalau sudah mengkrucut menjadi paham (modernisme), maka unsur-unsur nilai didalamnya sudah cenderung idiologis. Idiologi modern inilah yang nantinya menjadikan sebuah gerakan modernisasi.
Namun yang perlu diketahui bahwa modernitas tidak hanya menyangkut soal waktu, tetapi juga tentang pembaharuan. Artinya, selain seseorang menjadikan kekinian sebagai basis kesadarannya, ia juga harusmempunyai pola-pola pembaharuan dalam kehidupannya. Karena modernisasi secara implikatif, cenderung merupakan proses yang di dalamnya komitmen pola-pola lama dikikis, kemudian menyuguhkan pola-pola baru dan pola-pola baru inilah yang diberi status modern
Ciri-Ciri Modernitas
Modernitas sendiri dicirikan oleh tiga hal yaitu : Subjektivitas, kritis, dan kemajuan.
1. Dengan konsep subjektivitas dimaksudkan bahwa manusia harus menyadari dirinya subjectum, yaitu sebagai pusat realitas. Dengan paham inilah maka abad modern ditandai oleh menyeruaknya paham-paham antroposentrisme. Nilai-nilai yang sifatnya antroposentris ini tidak lain adalah antitesis dari nilai-nilai lama yang sifatnya teosentris.
Dalam ranah sosial, salah satu implikasi yang nyata kuatnya adalah unsur subjektivitas dalam kehidupan modern adalah munculnya individualisme. Individualimse akhirnya jugasekaligus menjadi ciri khusus dari kehidupan modern. Sebuah masyarakat apabila sudah menginjak atau memasuki rimba raya modernitas maka pola kehidupannya cenderung individualistik. Ini tentu berbeda dengan kehidupan tradisional-teosentris yang di dalamnya unsur-unsur sosial masih sangat kental. Jadi dalam konteks ini modernitas bisa berarti lahirnya otonomi dan independensi manusia dari sesamanya dalam kehidupan.
2. Kritik ini juga masih dalam pengertian subjektivitas tersebut, sejauh dihadapkan pada otoritas. Dimensi rasionalitas dalam kerangka kritis ini secara konkrit terefleksi dalam kemajuan ilmu pengetahuan. Modernitas berasumsi bahwa knowledge is power. Dengan semangat kritis ini modernitas mempunyai ambisi untuk mendekonstruksi paham-paham tradisional yang dianggapnya menyesatkan, penuh dengan takhyul, mitos, kejumudan, dan keterbelakangan.
Oleh karena itu, misi utama modernisme adalah mendobrak teradisi lama yang penuh mitologi dan takhyul tersebut untuk digantikan dengan tradisi baru yang berbasis rasionalitas dan ilmu penegetaahuan ilmiah, mengganatikan mitos dengan logos. Dalam rangka demitologisasi inilah, akal secara penuh difungsikan sebagai panglima untuk mendobrak paham lama yang berada di bawah rezim agama (gereja) dan mencoba bereksperimen menemukan tradisi-tradisi baru lewat metode ilmiah. Walaupun sebelumnya otoritas agama (gereja) dalam menentukan kebenaran di setiap sektor kehidupan demikian kuatnya, sehingga rasionalitas menjadi terbonsai. Maka lahirnya modernitas, dalam semangat kritik ini adalah upaya untuk melepaskan rasio dari cengkraman agama (gereja), dan merekonstruksi peradaban dunia baru berdasarkan rasionalitas murni. Dengan demikian, modernitas dalam konteks ini adalah untuk membersihkan debu-debu spiritual dan mistisisme era kegelapan dari panggung sejarah peradaban manusia. Pada akhirnya kedua unsur di atas bertujuan untuk menciptakan kemajuan.
3. Kemajuan dalam modernitas ditandai dengan megahnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Dampak rasionalitas secara langsung adalah maraknya penemuan-penemuan baru dalam ilmu penegetahuan dan teknologi. Sainspositivistik, sebagai dampak dari semangat rasionalitas, telah menjadi pedoman hidup baru masyarakat modern. Di era modern, Sains telah menjadi “agama” baru yang dijadikan sebagai standar utama untuk mengukur absah tidaknya kebenaran. Bahwa sebuah kebenaran baru bisa dianggap sebagai kebenaran manakala ia memenuhi kualifikasi yang digariskan oleh sains. Maka saintisme dan positivisme berarti bahwa metode ilmu pengetahuan alam modern yang membatasi dari hanya sampai menetapkan fakta-fakta (bukannya nilai-nilai) adalah satusatunya cara untuk menentukan kebenaran.
Sedangkan menurut S.C. Dube (1988) bahwa ciri manusia modern ditentukam oleh struktur, institusi, sikap, dan perubahan nilai pada pribadi, sosial, dan budaya. Masyarakat modern mampu menerima dan menghasilkan inovasi baru, membangun kekuatan bersama serta meningkatkan kemampuannya dalam memecahkan masalah. Oleh karenanya modernisasi sangat memerlukan hubungan yang selaras antara kepribadian dan sistem sosial budaya. Kemampuan berfikir secara rasional sangat dituntut dalam prosoes modernisasi. Masyarakat modern tidak mengenal lagi penjelasan yang irasional seperti yang dikenal oleh masyarakat tradisional. Rasionalitas menjadi dasar dan karakter pada hubungn individu dan pandangan masyarakat terhadap masa depan yang mereka idam-idamkan. (Slamet Widodo, 2008).
- Dakwah Modernitas
- Pengertian Dakwah
Dakwah adalah segala aktivitas yang bertujuan untuk mengajak orang (masyarakat) kepada kebaikan dan melarang kepada kejahatan, baik secara lisan, tulisan, lukisan, maupun perbuatan dengan metode dan media yang sesuai dengan prinsip Islam dengan tujuan mencapai kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat. Secara historis dapat diketahui bahwa proses Islamisasi di nusantara terjadi karena aktivitas dakwah. Tanpa usaha yang dilakukan oleh para dai, maka rasanya tidak mungkin akan terjadi ke pengantar terbesar umat Islam di Indonesia sebagaimana yang kita ketahui sekarang.
Dakwah Islam memiliki dua tantangan sekaligus. Pertama adalah tantangan keilmuan dakwah yang hingga sekarang belum tampak perkembangannya yang menggembirakan. Ilmu dakwah tampak stagnan dalam tataran pengembangan keilmuannya. Jika mengacu pada dimensi pengembangan keilmuan tersebut pada tulisan-tulisan ilmu dakwah yang sangat menonjol, maka rasanya tidak kita jumpai karya akademis outstanding tentang dakwah tersebut. Banyaknya buku atau jurnal yang di dalamnya menjadi instrumen bagi pengembangan ilmu dakwah maka tentu akan menjadi ajang bagi pengembangan ilmu dakwah tersebut. Ada banyak pengkaji ilmu dakwah yang kemudian berubah pikiran untuk mengembangkan ilmu komunikasi atau community development atau bahkan kajian konseling. Akibatnya, orang lebih melihat pada cabang-cabangnya dan bukan pada pohon atau akarnya. Jika kita lihat di lapangan, maka tidak banyak kajian tentang dimensi-dimensi ontologis dan epistemologis keilmuan dakwah. Melalui diskusi atau kajian yang mendasar tentang hal ini, maka pengembangan keilmuan dakwah akan menjadi lebih semarak. Harus kita ingat bahwa hanya dengan diskusi atau kajian yang hangat saja maka pengembangan ilmu dakwah akan menjadi kenyataan. Kedua, problem atau tantangan praksis dakwah. Harus kita akui bahwa dakwah bil lisan.