Korupsi dan Birokrasi Menghambat Sistem Peringatan Darurat di Indonesia

1 min read

Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan kerentanan tinggi terhadap bencana alam, sangat bergantung pada efektivitas sistem peringatan darurat. Sistem ini dirancang untuk menyelamatkan nyawa dan mengurangi kerugian saat bencana melanda. Namun, di balik teknologi dan kebijakan yang diterapkan, ada dua faktor yang sering kali menjadi penghalang besar: korupsi dan birokrasi.

Korupsi dalam Sistem Peringatan Darurat

Korupsi telah menjadi masalah sistemik di banyak sektor di Indonesia, dan sayangnya, sektor yang berhubungan dengan mitigasi bencana tidak terkecuali. Dana yang dialokasikan untuk pengadaan alat peringatan dini, pembangunan infrastruktur tahan bencana, atau pelatihan tim tanggap darurat sering kali tidak mencapai sasaran karena dikorupsi oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.

Kasus-kasus korupsi di sektor ini menunjukkan bahwa dana yang seharusnya digunakan untuk membeli peralatan canggih seperti tsunami buoys, sirine, atau sistem peringatan berbasis teknologi sering kali diselewengkan. Akibatnya, Indonesia tidak memiliki infrastruktur yang memadai untuk memberikan peringatan dini yang efektif kepada warganya. Ketika bencana seperti tsunami di Palu pada 2018 melanda, ketidaktersediaan alat peringatan dini yang berfungsi dengan baik mengakibatkan banyak korban jiwa yang seharusnya bisa dihindari.

Birokrasi: Penghambat atau Penyelamat?

Selain korupsi, birokrasi yang rumit juga sering kali menjadi hambatan dalam implementasi sistem peringatan darurat yang cepat dan efisien. Proses pengadaan yang panjang, persetujuan yang berjenjang, dan kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintah sering kali memperlambat upaya mitigasi bencana.

Birokrasi yang tidak efisien juga menghambat respons cepat saat bencana terjadi. Misalnya, ketika terjadi gempa bumi atau banjir besar, bantuan yang sangat dibutuhkan seperti makanan, obat-obatan, dan tempat penampungan darurat sering kali tertahan karena prosedur administrasi yang terlalu berbelit. Hal ini bisa mengakibatkan penderitaan yang berkepanjangan bagi korban bencana, yang sebenarnya bisa dihindari dengan sistem birokrasi yang lebih fleksibel dan responsif.

Namun, birokrasi juga memiliki peran penting dalam memastikan bahwa setiap langkah mitigasi bencana dilakukan sesuai dengan prosedur yang benar dan diawasi dengan ketat. Oleh karena itu, reformasi birokrasi menjadi kunci untuk meningkatkan efisiensi tanpa mengorbankan akuntabilitas.

Korupsi dan birokrasi adalah dua tantangan besar yang harus dihadapi dalam upaya memperkuat sistem peringatan darurat di Indonesia. Tanpa penanganan yang serius terhadap kedua masalah ini, sistem yang dirancang untuk menyelamatkan nyawa akan terus terhambat, dan korban bencana akan terus menjadi pihak yang paling dirugikan. Reformasi yang berkelanjutan, pengawasan yang ketat, dan komitmen yang kuat dari semua pihak adalah kunci untuk memastikan bahwa sistem peringatan darurat di Indonesia dapat berfungsi dengan optimal dan melindungi seluruh rakyatnya.


Penulis : Nuraziz Ummu Hanifah

Mahasiswa STEI SEBI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.