APLIKASI KAIDAH FIQHIYYAH AL YAQINU LA YUZALU BI SAKK DALAM FATWA DSN MUI

2 min read

  • Pendahuluan

Kaidah fiqhiyyah merupakan suatu disiplin ilmu yang memiliki urgensi tinggi dalam kehidupan manusia. Keberbedaannya dengan ushul fiqh terletak pada patokan objek hukumnya, yang dalam hal ini adalah mukallaf itu sendiri. Dalam konteks qawa’id al-ahkam atau kaidah fiqhiyyah, terdapat kaidah kubra atau kaidah asasiyyah yang terdiri dari lima prinsip dasar. Kaidah qubra ini memiliki landasan nash atau dalil yang tidak diragukan lagi karena bersumber dari Al-Qur’an dan hadits.

Salah satu kaidah kubra yang mencolok adalah “al-yaqinu laa yuzaalu bissyakin,” yang artinya keyakinan tidak dapat dihapuskan oleh keraguan. Kaidah ini memiliki sebelas cabang, yang telah dijelaskan oleh para ahli fukaha, beserta syarat-syarat dan penurunan kaidah ini dalam konteks tertentu. Penerapan kaidah ini mencakup berbagai bidang, seperti ubudiyah (ibadah), mu’amalah (transaksi), jinayah (hukum pidana), hingga siyasah (politik).

  • Difinisi Kaidah

Kaidah al-yaqinu la yuzaalu bisyakkin adalah suatu prinsip dalam hukum Islam yang menyatakan bahwa keyakinan yang telah teguh tidak akan terhapus oleh keraguan. Prinsip ini mengandung makna bahwa setiap hukum yang didasarkan pada keyakinan tertentu tidak akan dipengaruhi oleh keraguan-raguan yang muncul kemudian. Keragu-raguan dianggap sebagai unsur eksternal yang muncul setelah keyakinan, dan tidak mampu menghilangkan keyakinan yang telah ada sebelumnya.

Kaidah ini menekankan bahwa suatu keyakinan yang telah mantap pada suatu perbuatan atau keputusan tidak akan tergoyahkan oleh keraguan yang muncul di belakangan. Kemantapan hati terhadap suatu objek yang telah dilakukan dapat mencapai tingkat pengetahuan yang mantap atau hanya sebatas dugaan kuat (asumsi atau dzan. Oleh karena itu, kemantapan hati yang disertai dengan keraguan pada saat pelaksanaan suatu pekerjaan tidak dianggap sebagai keyakinan yang sejati. Hal-hal yang masih bersifat ragu atau menjadi tanda tanya tidak dapat disamakan dengan sesuatu yang telah diyakini.

Penerapan Kaidah dalam Fatwa MUI

1. Fatwa DSI MUI (151/DSN-MUINI12022) tentang Akad Samsarah

Berdasarkan isi dari Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia tentang Akad Samsarah, dapat disimpulkan bahwa Akad Samsarah merupakan sebuah mekanisme keperantaraan yang dapat digunakan dalam berbagai jenis bisnis dan lembaga keuangan syariah. Fatwa ini memberikan panduan yang rinci dan jelas mengenai prinsip-prinsip syariah yang harus diperhatikan dalam Akad Samsarah, serta cara mengimplementasikannya dalam bisnis properti.

Selain itu, Fatwa DSN-MUI juga memberikan panduan lengkap yang dibutuhkan dalam Akad Samsarah, seperti cara menyelesaikan penyelesaian melalui musyawarah mufakat atau lembaga penyelesaian penyelesaian seperti Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas), Majelis Ulama Indonesia, atau Pengadilan Agama.

Dengan adanya Fatwa DSN-MUI tentang Akad Samsarah, diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan memperkuat praktik bisnis syariah di Indonesia. Selain itu, Fatwa ini juga dapat menjadi acuan bagi para pelaku bisnis dan lembaga keuangan syariah dalam mengimplementasikan Akad Samsarah dengan prinsip-prinsip syariah yang benar dan sesuai dengan ajaran Islam.

2. Fatwa DSI MUI (31/DSN-MUI/)U20I9) tentang Sukuk wakaf

Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia mengenai Sukuk Wakaf memberikan arahan yang komprehensif dan terperinci tentang pemanfaatan aset wakaf sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Keputusan ini menjadi pedoman krusial bagi pelaku industri keuangan syariah dalam meningkatkan dan mengembangkan produk pasar modal syariah berbasis wakaf. Fatwa tersebut tidak hanya memberikan petunjuk yang jelas terkait penggunaan aset wakaf untuk keperluan ibadah, tetapi juga menguraikan batasan dan ketentuan terkait Sukuk Wakaf yang sebelumnya belum diatur dalam fatwa sebelumnya.

Implikasinya sangat signifikan, tidak hanya dalam konteks keuangan syariah, tetapi juga dalam memajukan kesejahteraan umum. Dengan adanya pedoman ini, diharapkan bahwa pelaku industri keuangan syariah dapat lebih efektif mengembangkan produk-produk pasar modal yang berlandaskan wakaf, sesuai dengan prinsip-prinsip syariah yang ketat. Hal ini tidak hanya menguntungkan pelaku industri, tetapi juga masyarakat umum, karena pengembangan aset wakaf dapat memberikan kontribusi positif terhadap kesejahteraan dan keberkahan secara keseluruhan.

3. Fatwa DSI MUI (146/DSN-MUYflAZA21) tentang Online Shop Berdasarkan Prinsip Syariah

Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia mengenai Sukuk Wakaf memberikan arahan yang komprehensif dan terperinci tentang pemanfaatan aset wakaf sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Keputusan ini menjadi pedoman krusial bagi pelaku industri keuangan syariah dalam meningkatkan dan mengembangkan produk pasar modal syariah berbasis wakaf. Fatwa tersebut tidak hanya memberikan petunjuk yang jelas terkait penggunaan aset wakaf untuk keperluan ibadah, tetapi juga menguraikan batasan dan ketentuan terkait Sukuk Wakaf yang sebelumnya belum diatur dalam fatwa sebelumnya.

Implikasinya sangat signifikan, tidak hanya dalam konteks keuangan syariah, tetapi juga dalam memajukan kesejahteraan umum. Dengan adanya pedoman ini, diharapkan bahwa pelaku industri keuangan syariah dapat lebih efektif mengembangkan produk-produk pasar modal yang berlandaskan wakaf, sesuai dengan prinsip-prinsip syariah yang ketat. Hal ini tidak hanya menguntungkan pelaku industri, tetapi juga masyarakat umum, karena pengembangan aset wakaf dapat memberikan kontribusi positif terhadap kesejahteraan dan keberkahan secara keseluruhan.

  • Penutup

Kesimpulan dari argumen di atas adalah bahwa dalil ‘aqli (akal) mendukung kaidah keyakinan dan keraguan, dengan menegaskan bahwa keyakinan memiliki kekuatan yang lebih besar daripada keraguan. Hal ini disebabkan oleh adanya hukum qath’i (pasti) dalam keyakinan yang meyakinkan. Oleh karena itu, keyakinan seharusnya tidak mudah dirusak oleh keraguan, kecuali jika terdapat dalil atau bukti lain yang lebih kuat dan janji yang dapat membatalkan keyakinan tersebut. Dalam situasi tercapai, penyelesaiannya seharusnya mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sesuai dengan prinsip syariah.


Penulis : Mudzoffar Abdul Haq

Mahasiswa STEI SEBI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Seedbacklink