7 TIPS MEMILIH PEMIMPIN DALAM PERSPEKTIF ISLAM

4 min read

Indonesia termasuk negara demokrasi,dimana setiap pergantian kepemimpinan  5 tahun sekali itu momentum diadakannya pemilu.Ini hanya edukasi bagi tiap muslim secara jangka panjang. Artinya, tips ini bisa dipakai kapan pun sepanjang hayat, tidak hanya momen tertentu di 2024. Bisa digunakan untuk memilih pemimpin tertinggi maupun daerah atau pun semisalnya.

7 TIPS MEMILIH PEMIMPIN DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Islam adalah agama yang komprehensif, mencakup semua lingkup kehidupan. Dari yang terkecil hingga terbesar. Tidaklah mungkin agama yang mengatur hal kecil seperti istinja’, tapi tidak mengatur hal besar seperti kepemimpinan dan politik. Dan perlu diketahui, kepemimpinan dalam Islam bukan sekadar mengatur urusan dunia, namun juga mengatur dan menjaga agama ini. Sudah masyhur ungkapan dari Al-Imam Al-Mawardi (w. 450 H) dalam kitab Al-Ahkām As-Sulthāniyyah bahwa kepemimpinan Islam itu menjaga agama (hirāsatud-dīn) dan mengatur urusan dunia (siyāsatud-dunya).

Berikut ini sekelumit tips yang bisa kita jadikan panduan dalam memilih pemimpin. Semoga bermanfaat.

  1.  Yang tidak minta jabatan ataupun mengajukan diri sendiri (tidak ambisius)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا تَسْأَلُ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتُهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا

“Jangan kamu meminta jabatan, karena jika kamu diberi jabatan dengan kamu memintanya, maka kamu ditelantarkan. Tapi jika kamu diberi jabatan tanpa kamu memintanya, kamu akan dibantu (dalam menjalankannya).” [HR. Al-Bukhari]

Asy-Syaikh Al-Mulla ‘Ali Al-Qari (w. 1014 H) jelaskan secara ringkas bahwa jangan meminta jabatan dan kepemimpinan, baik meminta kepada makhluk dan sekalipun kepada Al-Khaliq (Allah). Jika kamu memintanya, niscaya Allah tidak akan menolongmu dalam kepemimpinanmu, diserahkan kepadamu.

Sementara kepemimpinan itu perkara yang berat, tidak ada seorang pun yang bisa menjalankannya dengan baik kecuali dengan bantuan dari Allah. la pasti mendapati kebuntuan dan kerugian dunia-akhirat. Sebaliknya, jika kamu diberi jabatan tanpa meminta, niscaya Allah akan membantumu dalam kepemimpinan dengan memberimu petunjuk (taufiiq), keteguhan (tatsbiit), dan merealisasikan keadilan (tahqiiq).

*Referensi: Mirqatul Mafatih Syarh Misykäh Al- Mashabih (VI/2400)

2.  Amanah, bagus agamanya, dan ahli dalam kepemimpinan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فَإِذَا صُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرُ السَّاعَةَ، قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا؟ قَالَ: إِذَا وُسْدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظَر ُالسَّاعَةَ

“Jika amanah sudah hilang, maka tunggulah kehancurannya.” Para Shahabat bertanya, “Bagaimana amanah itu hilang?” Beliau menjawab, “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” [HR. Al-Bukhari]

Al-Imam Ibnu Baththal (w. 449 H) jelaskan bahwa para pemimpin itu diberi amanah oleh Allah atas para hamba-Nya, Dia wajibkan mereka untuk menasihati para pemimpin. Maka sudah seharusnya mereka mengangkat orang yang agamanya baik. Karena bila mereka mengikuti orang yang tidak baik agamanya, maka mereka telah menyia-nyiakan amanah.

*Referensi: Syarh Shahih Al-Bukhari (1/138) cet. Maktabah Ar-Rusyd, Riyadh.

Al-Imam Al-Mawardi (w. 450 H) dalam Al-Ahkām As-Sulthāniyyah sebutkan syarat pemimpin tertinggi salah satunya, pemimpin haruslah berilmu yang memadai untuk mengatur kehidupan rakyat. Para ulama jelaskan dibutuhkan juga keahlian (khibrah) dan pengalaman (tajribah) atau dikenal di zaman ini sebagai rekam jejak (track record) dalam memimpin.

  •  Dicintai rakyat, mendoakan rakyat dan didoakan rakyat

خِيارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ، ويُصَلُّونَ عَلَيْكُم وَتُصَلُّونَ عليهم،

“Sebaik-baik pemimpin kalian ialah kalian mencintainya dan dia mencintai kalian, mendoakan kalian dan kalian mendoakannya.” [HR. At-Tirmidzi].

Asy-Syaikh ‘Abdurrahman Al-Mubarakfuri (w. 1353 H) berikan penjelasan, sebaik- baik pemimpin ialah orang yang adil dalam hukum dan terjadinya kasih sayang dan cinta di antara pemimpin dan rakyatnya.

*Referensi: Tuhfatul Ahwadzi bi-Syarh Jāmi’it Tirmidzi (VI/448), cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah

  • Tidak memusuhi umat Islam

مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السَّلَاحَ فَلَيْسَ مِنَّا

“Barangsiapa yang menodong senjata kepada kami, maka bukan dari golongan  kami.”

 [HR. Al-Bukhari]

“Menodong senjata kepada kami” maksudnya memerangi umat Islam, bisa juga mendiskriminasi, mengkriminalisasi, dan semacamnya.

Frase “fa laisa minnā” atau “maka bukan dari golongan kami” bukan berarti keluar dari agama Islam, dijelaskan oleh Al-Imam Ibnul ‘Aththar (w. 724H) maksudnya tidak sesuai dengan petunjuk kami atau sunnah kami.

*Referensi: Al-Uddah fi Syarhil ‘Umdah (III/1715), cet. Darul Basyair, Lebanon

  • Bukan pemimpin yang kekanak-kanakan dan bodoh tak tahu apa- apa

حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ سَمْعَانَ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَتَعَوَّذُ مِنْ إِمَارَةِ الصَّبْيَانِ وَالسُّفَهَاءِ

Seorang Shahabat, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah berdoa memohon perlindungan dari dari pemimpin yang kekanak-kanakan dan dari pemimpin yang bodoh. [Al-Adabul Mufrad (no. 66) karya Al-Imam Al- Bukhari]

“Kekanak-kanakan” bisa dimungkinkan secara sifat dan juga secara usia. Karena Abu Hurairah berdoa dengan doa tsb sebelum Yazid bin Mu’awiyah jadi pemimpin di mana dia berusia 34 tahun – usia termuda dari para pemimpin sebelum dan sesudahnya- dan Abu Hurairah meninggal 3 tahun sebelumnya.

  • Pemimpin yang takut  kepada Allah dan kasih sayang pada rakyat

وَلَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لَا يَرْحَمُنَا

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdoa, “… Ya Allah, janganlah Engkau kuasakan kepada kami orang yang tidak sayang kepada kami.” [HR. At-Tirmidzi]

Para ulama tambahkan doanya secara lengkap: اللَّهُمَّ لَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لَا يَخَافُكَ فِيْنَا وَلَا يَرْحَمُنَا

“Ya Allah, janganlah karena dosa-dosa kami, Engkau kuasakan kepada kami orang yang tidak takut kepada-Mu dan tidak sayang kepada kami.”

Al-Imam As-Suyuthi (w. 911 H) jelaskan salah satu makna doa tsb adalah permohonan supaya Allah tidak jadikan orang-orang zalim memimpin, karena orang zalim pasti tidak mengasihi rakyat.

*Referensi: Qūtul Mughtadzi ‘ala Jami’it Tirmidzi (II/826) cet. Jami’ah Ummul Qura, Mekkah.

  • Berakhlak & tidak berbuat kerusakan di bumi

وَإِذَا تَوَلَّىٰ سَعَى فِي الْأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ

“Apabila berpaling (dari engkau atau berkuasa), dia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi serta merusak tanam- tanaman dan ternak. Allah tidak menyukai kerusakan.”

[QS. Al-Baqarah: 205]

Al-Imam Al-Baidhawi (w. 685 H) jelaskan dalam Anwarut Tanzil bahwa ketika menang dan berkuasa ia mencoba berbuat kerusakan di buka bumi sebagaimana yang dilakukan Al- Akhnas yang membakar tanam- tanaman dan membunuh hewan ternak, pun seperti dilakukan para pemimpin yang buruk berbuat pembunuhan, pengrusakan, dan kezaliman.

*Referensi: Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil (1/132), cet. Dar Ihyait Turats

Pemimpin haruslah bisa menjaga bumi, memakmurkannya, menjaga alam dan lingkungan demi kemaslahatan rakyatnya, bukan merusaknya. Pemimpin juga haruslah beretika terhadap Tuhan, beretika terhadap hukum, rakyat, dan alam sekitar. >

Al-Imam Al-Ghazali (w. 505 H) dalam kitabnya At-Tabrul Masbuk fi Nashihatil Muluk (hlm.28) sebutkan salah satu kriteria pemimpin ialah memperlakukan rakyatnya dengan lembut nan penuh kasih sayang.

Memilih pemimpin di zaman ini diperlukan rasionalitas. Ya, memang tiada sosok yang ideal tanpa cela kecuali Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Tapi setidaknya pilih yang sedikit keburukannya dan paling diharapkan maslahatnya untuk bangsa, negara, dan umat.

Sebagai pendukung salah satu kandidat, jangan fanatik berlebihan. Kefanatikan semisal kalau jagoannya tidak menang maka tidak akan ada yang menyembah Allah lagi, atau kalau kandidat lawan menang maka umat Islam dibeginikan, atau kalau tidak pilih jagoannya maka dipertanyakan keislamannya, atau salah satu kandidat dipercaya sebagai Imam Mahdi, dll. Pun tidak diperkenankan black campaign seperti memfitnah, ujaran kebencian (hate speech) mencaci-maki, menyerang personal, menghina agama/ras/suku tertentu, memecah belah, mengadu domba, dll.

Jangan jadikan preferensi politik sebagai patokan cinta dan benci yang berlebihan. Sukai kandidatmu sewajarnya, tapi jangan terlalu membenci lawan kandidatmu. Semua harus sewajarnya. Tidak perlu berpecah belah yang menyebabkan polarisasi dan disintegrasi. Tentukan pilihanmu sesuai hati nurani dan ilmu. Jangan sekadar ikut-ikutan atau justru karena harta dunia yang remeh.

SIAPAPUN YANG TERPILIH ΝΑΝΤΙΝΥΑ…

Siapapun yang terpilih nantinya dalam Pemilihan Presiden, entah dia pilihan kita atau bukan pilihan kita, dia-lah pemimpin kita. Terima dengan legawa dan doakan kebaikan untuknya. Dukung dan sokong segala kebijakannya yang baik dan membawa maslahat umum. Jika ada kebijakan yang membawa mudharat, sampaikan kritik dengan baik sebagai bentuk kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar, baik secara terbuka maupun tertutup sesuai konstitusional.

Perlu diketahui, tidak semua yang Allah kehendaki itu pasti Dia ridhai. Misal, Allah menghendaki Fir’aun jadi raja-buktinya adalah hal itu sudah terjadi- tapi Allah tidak ridhai Fir’aun menjadi raja. Sebagaimana Allah menghendaki adanya kemaksiatan di muka bumi, tapi Allah tidak ridha bahkan melarang kemaksiatan.

Sehingga bisa saja Allah menghendaki seseorang jadi pemimpin, namun Allah tidak meridhainya. Begitu juga sebaliknya, bisa saja Allah menghendaki seseorang jadi pemimpin sekaligus Allah meridhainya. Harapan dan doa kita, siapapun yang menjadi Presiden RI nantinya itu dikehendaki Allah sekaligus diridhai oleh- Nya, aamiin. Doakan terbaik untuk bangsa kita.

Referensi :https://www.instagram.com/sabilunnashr?utm_source=ig_web_button_share_sheet&igsh=ZDNlZDc0MzIxNw==

Ditulis Oleh : Shofi Hanifa Fauziah mahasiswi STEI SEBI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.