Dibuat oleh Aisyah Yunita
Literasi
Berbicara masalah hambatan, walaupun di Indonesia jumlah umat muslimnya mayoritas dan bahkan yang terbesar di dunia. Tetapi untuk pemahaman mengenai ekonomi syariah masih sangat kurang. Oleh karena itu, hambatan pertama yang dihadapi yaitu literasi. Disinilah peran lembaga-lembaga pendidikan dalam memberikan pemahaman kepada semuanya mengenai konsep-konsep yang ada dalam Ekonomi Syariah. Bahkan saat ini bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga masyarakat, ulama, lebih baik memberikan pemahaman kepada masyarakat secara menyeluruh dan masif. Literasi inilah yang menjadi hambatan dan tantangan terbesar yang dihadapi di Indonesia. Meskipun praktiknya di suatu daerah tertentu cukup banyak misalnya di Surabaya yang penerapannya sudah sedemikian luas.
Tetapi kekita kita bertanya apakah mereka memahami dengan benar operasional dan sistem dalam ekonomi syariah? Jawabannya banyak yang tidak memuaskan. Sehingga bisa disimpulkan bahwa angka literasinya masih rendah. Oleh karena itu pemerintah sudah mulai menerapkan dan mengajarkan ekonomi syariah di level paling dini. Misalnya di tingkat SD, SMP yang sudah mulai diperkenalkan di dalam kurikulumnya.
Skala Kecil
Hambatan yang kedua yaitu skala yang masih sangat kecil. Karena ekonomi syariah atau instrumen keuangan syariah masih terbilang baru maka jumlahnya masih sangat kecil dan minoritas jika dibandingkan dengan ekonomi konvensional. Biasanya minoritas sulit untuk berdiri sendiri karena terpengaruh dari ekosistem mayoritasnya. Sehingga banyak prinsip ekonomi syariah yang disesuaikan dengan kondisi yang ada. Prinsip ini juga tidak bisa berjalan terlalu ideal karena harus menyesuaikan diri dan kompetitif secara harga dengan sistem konvensional. Inilah yang sulit dilakukan oleh ekonomi syariah dalam kondisi saat ini. Misalnya jika kita pergi ke bank konvensional atau bank syariah lalu tidak ada perbedaan dalam hal harga diantara keduanya. Padahal kita sebagai masyarakat berekspektasi jika bank syariah tidak akan memberatkan dan lebih bersifat penolong. Maka terjadilah perpindahan nasabah dari bank syariah ke bank konvensional.
Bisa kita lihat di peraturan perbankan yang menetapkan bahwa sebenarnya suatu perbankan itu tidak boleh memiliki aset karena tujuan didirikannya perbankan yaitu sebagai intermediary (perantara) bukan jual-beli. Sedangkan di dalam prinsip islam, yang terdapat proses jual-beli (akad) atau sewa-menyewa di perbankan syariah. Maka 1 syarat mutlak dalam jual-beli atau sewa-menyewa adalah barang tersebut harus dimiliki penuh oleh si penjual dan si pemberi sewa. Sehingga sedikit sulit untuk bank syariah dalam menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Meskipun beberapa perbankan sudah mulai beralih memiliki inventori, tetapi tidak semua bank melakukannya karena risikonya yang cukup besar.
Arbitrase
Jika suatu perbankan menerapkan rate atau tingkat bagi hasil yang berbeda dengan mayoritasnya, maka terjadilah arbitrase. Arbitrase adalah sekelompok orang-orang yang melakukan perpindahan secara masif kepada suatu sistem dan meninggalkan sistem yang lain. Hal ini menyebabkan terjadinya gejolak di pasar jika salah satunya tidak seimbang.
Contoh sederhananya, ketika di pasar tradisional ada penjual baru yang menjual bayam, ia tidak bisa menjual dengan harga yang berbeda dengan penjual yang lain. Jika ia menjual dengan harga lebih murah dari yang lain, terjadilah arbitrase yang mengakibatkan kehabisan stok dan penjual lain akan marah karena penjual tersebut merusak harga pasar. Atau jika penjual tersebut menjual dengan harga lebih tinggi, maka bayam tidak akan laku dan pembeli akan membeli kepada penjual lain yang menjual bayam dengan harga lebih murah. Jadi ketika ada penjual baru di dalam pasar, maka ia harus menyesuaikan dengan lingkungannya.
Itulah hambatan atau tantangan yang dihadapi oleh perbankan syariah atau keuangan syariah pada saat ini. Dengan adanya hambatan, ini bisa menjadi pendorong bagi perbankan syariah agar lebih inovatif, kreatif dalam memposisikan atau menentukan atau merumuskan akad-akadnya nanti.