Hubungan Manusia dengan Allah dan Perannya Dimuka Bumi Serta Tongak Sejarah Manajemen Dalam Negara Islam – Agama memberikan penjelasan bahwa manusia adalah mahluk yang memilikipotensi untukberakhlak baik (takwa) atau buruk (fujur) potensi fujur akan senantiasa eksis dalam dirimu manusia karena terkait dengan aspek insting, naluriah, atau hawa nafsu, seperti naluri makan/minum, seks, berkuasa dan rasa aman. Apabila potentsi takwa seseorang lemah, karena tidak terkembangkan (melalui pendidikan), maka prilaku manusia dalam hidupnya tidak akan berbeda dengan hewan karena didominasi oleh potensi buruknya (fujur) yang bersifat instinktif atauimplusif (seperti berzina, membunuh, mencuri, minum-minuman keras, atau menggunakan Narkoba dan main judi).
Hubungan Manusia dengan Allah dan Perannya Dimuka Bumi
Agar hawa nafsu itu terkendalikan (dalam arti pemenuhannya sesuai dengan ajaranagama), maka potensi takwa itu harus dikembangkan, yaitu melalui pendidikan agama dari sejak usia dini. Apabila nilai-nilai agama telah terinternalisasi dalam diri seseorang maka dia akanmampu mengembangkan dirinya sebagai manusia yang bertakwa, yang salah satukarakteristiknya adalah mampu mengendalikan diri (selfcontrol ) dari pemuasan hawa nafsu yang tidak sesuai dengan ajaran agama.
Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai khalifah dimuka bumi. Diperintahkan untuk mengolah, mengatur dan memakmurkan bumi. Manusia adalah makhluk yang di ciptakan dengan sebaik baik ciptaannya. Ini dijelaskan didalam Al quran surat at-tin ayat 4-6 yang artinya “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal soleh, maka bagi mereka pahala tiada putus-putus nya”.Manusia diberikan akal dan fikiran yang tidak dimiliki makhluk lain itu lah yang membedakan antara manusia dan makhluk lainnya.
Dengan itu manusia harus memiliki hubungan yang baik dengan Allah. Hukum yang mengatur itu semua disebut hukum I’tiqadiah, yaitu hukum yang mengatur tentang hubungan manusia dengan penciptanya secara lahiriah dan rohaniah dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah atau keimanan. Hukum jenis ini tercermin dalam rukun iman. Hukum ini dipelajari dalam ilmu tauhid dan ilmu ushuluddin atau ilmu kalam. “Ada seorang beribadah sepanjang hari dan sepanjang malam tapi dia tidak bisa menjaga lidahnya untuk menmbicarakan aib orang lain, memfitnah orang lain yang berarti amalannya sia-sia”, ucap syeikh Ali Jaber. Setiap ibadah yang diperintahkan oleh Allah SWT tentunya bertujuan untuk meningkatkan hubungan vertikal dan horizontal secara seimbang. Hubungan vertikal yaitu hubungan hubungan ubudiyah kita kepada Allah SWT (Hablumminallah) seperti yang dijelaskan pada ayat berikut :
Allah berfirman :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya :
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
(QS. Az – Zariyat : 56).
Habluminallah disini bisa diartikan segala sesuatu bentuk peribadahan yang mendekatkan dan mengingatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hablum minallah menurut bahasa berarti hubungan dengan Allah. Namun dalam pengertian syariah makna hablum minallah sebagaimana yang dijelaskan di dalam tafsir At-Thabari, Al-Baghawi, dan tafsir Ibnu Katsir adalah “Perjanjian dari Allah, maksudnya adalah masuk Islam atau beriman dengan Islam sebagai jaminan keselamatan bagi mereka di dunia dan di akhirat”. Dengan demikian dapat kita pahami bahwa untuk membangun hubungan kita kepada Allah, kita mempunyai kewajiban untuk menunaikan hak-hak Allah, dan apakah hak-hak Allah itu?
Hak-hak Allah ialah mentauhidkan dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain serta menjalankan syariat Allah. Misalnya: sholat, puasa, zakat dan sebagainya. Hablum minallah perwujudannya adalah sosok mu’minin yang taat melaksanakan perintah-perintah Allah, hidupnya merasa bergantung kepada Allah serta selalu berdoa dan berdzikir karena mengandalkan pertolongan Allah – wasta’iinuu bishshobri washsholaah. Inilah sosok mu’minin yang benar-benar menerapkan Hablum minallah.
Hablum Minallah juga bisa disebuat sebagaimana konsep bagaimana manusia berhubungan dengan sang maha pencipta Allah dengan mengikuti segala perintahnya dan menjauhi larangan-Nya. Makna hablum minallah dalam tafsir At-Thabari, Al-Baghawi, dan tafsir Ibnu Katsir adalah “Perjanjian dari Allah, maksudnya adalah masuk Islam atau beriman dengan Islam sebagai jaminan keselamatan bagi mereka di dunia dan di akhirat”. Hablum minallah dilaksanakan dengan ubudiyah atau ibadah. Hidup manusia di dunia pada hakikatnya adalah hanya untuk beribadah kepada Allah SWT.Menurut Imam Ghazali, ubudiyah terdiri dari tiga hal, yakni:
- Menunaikan perintah syariat
- Rela dengan ketentuan dan takdir serta pembagian rezeki dari Allah SWT
- Meninggalkan kehendak nafsunya untuk mencari keridhaan Allah SWT.
Namun apakah cukup hanya dengan hablum minallah saja, sedangkan di sisi yang lain kita mengabaikan hablum minannas. Tentu tidak cukup, mengingat kita adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Di dalam Al-Quran juga banyak ayat-ayat yang menyebutkan tentang perintah mengerjakan sesuatu yang berkaitan dengan hablum minannallah namun diiringi juga dengan hablum minannas, antara lain.
إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا (19) إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا (20) وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا(21
إِلَّا الْمُصَلِّينَ (22) الَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ (23) وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ (24
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir (19), Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah (20), Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir (21), Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat (22), Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya (23), Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu (24), Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)“.
Dalam ayat tersebut secara tegas Allah bahwa keluh kesah dan kikir itu telah menjadi sifat bawaan manusia sejak dia diciptakan. Bukankah kalau kita tidak memiliki harta kita sering berkeluh kesah. Sebaliknya, kalau kita memiliki banyak harta kita sering lebih cenderung untuk kikir. Lalu bagaimana caranya agar sifat bawaan kita tersebut dapat kita hindari. Allah menyebutkan paling tidak ada dua jalan. Pertama, mengerjakan shalat (hablum minallah) secara kontinyu, berjamaah dan di masjid. Kedua, menyadari bahwa dalam harta yang kita miliki terkandung bagian tertentu untuk fakir miskin (hablum minannas).
Hubungan horizontal adalah hubungan muamalah kita kepada sesama muslim dan makhluk Allah lainnya (Hablumminannas).Seperti ayat berikut :
Allah berfirman :
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
Artinya :
(QS. An – Nisa’ : 36).
Ayat tersebut mengandung dua bentuk akhlak, yaitu akhlak kepada Allah (hablum minallah) yang ditunjukkan dengan perintah agar kita menjalin hubungan baik kepada Allah dengan cara tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain. Dan akhlak terhadap sesama manusia (hablum minannas) yang ditunjukkan dengan perintah berbuat baik kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, orang yang dalam perjalanan dan hamba sahaya.
Jadi hablumminannas disini bisa diartikan segala sesuatu bentuk kebaikan kepada sesama manusia yang mendatangkan ridha Allah dan membuat Allah mencintai hamba-Nya karena saling berbuat baik kepada sesama.
Selain menjalin hubungan yang baik dengan Allah manusia juga mempunyai peran penting dimuka bumi. Karena manusia merupakan makhluk paling mulia. Antara lain tugasnya adalah menjadi khalifah atau pemimpin baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain dengan tugas mewujudkan kemakmuran, kebahagiaan serta keselamatan untuk orang-orang disekitarnya, juga beramal saleh, saling bekerjasama, dan menegakkan keadilan. Maka manusia seperti inilah yang di maksud dengan pemimpin yang baik. Selain itu tugas ini dijalankan bukan dengan kesombongan dan keangkuhan, tetapi dijalan dengan niat semata mata karna Allah SWT.
Ayat-ayat diatas menunjukkan bahwa hablum minallah dan hablum minannasadalah dua sisi mata uang yang tidak boleh dipisahkan. Itulah kepribadian seorang mu’min yang kaaffah. Jadi Islam mendorong umatnya agar dalam beragama tidak selalu mementingkan aspek ibadah mahdhoh saja, akan tetapi Islam juga menganjurkan ibadah sosial, seperti memperhatikan nasib-nasib orang lemah. Bahkan kalau kita cermati 5 rukun Islam itu adalah merupakan gabungan antara habluminallah dan hablum minannas, gabungan antara hubungan vertikal dan horizontal.
Begitulah amalan Islam bukan amalan individu melainkan amalan bersama berjama’ah, sebagaimana dilaksanakan Rasulullah beserta sahabat-sahabat beliau. Mereka satu ummat, ummatan wahidah, yang tidak terkotak-kotak oleh madzhab, harokah ataupun wilayah politik
Berkaitan dengan itu, mengutip dari salah satu hadits yang diriwayatkan oleh At – Thoyalis dari Ubadah Ibn Shomith :
“Apabila ada seseorang berupaya memperbaiki sholatnya, menyempurnakan ruku’nya dan menyempurnakan sujudnya, maka sholat itu akan mendo’akan kepada orang tersebut : “Semoga Allah menjaganya sebagaimana ia menjaga sholatnya”. Dan apabila ada seseorang yang tidak mau memperbaiki sholatnya, tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya, maka sholat itu akan mendo’akan “Semoga Allah senantiasa membiarkanmu/mengabaikanmu”.
Betapa pentingnya sholat bagi kita, sehingga ketika kita menyempurnakan sholat kita, maka kebaikan-lah yang akan selalu kita dapatkan, namun ketika kita meninggalkan sholat, maka keburukan dan adzab Allah akan menanti kita baik itu di dunia maupun di akhirat kelak.
Hadits di atas menunjukkan kepada kita betapa pentingnya hubungan kita sebagai manusia dengan Sang Pencipta Allah Azza Wajalla (Hablumminallah), karena apa yang kita lakukan dan apa yang kita kerjakan di dunia ini tidak lain dan tidak bukan melainkan untuk bekal kembali menghadap kepada-Nya.
Disamping kita harus menjaga hubungan kita kepada Allah SWT, kita perlu juga menjaga hubungan kita terhadap sesama manusia (Hablumminannas), sesuai dengan hadits yang diriwayatkan Ibnu Asa’akir dari Zaid Ibn Arqom :
“Ketika keluar salah satu dari kalian untuk bepergian, maka hendaklah ia berpamitan dan meminta do’a kepada saudaranya, karena Allah SWT menjadikan do’a (dari saudaranya tersebut) itu menjadi sebuah berkah”.
Berkaitan dengan hadits ini, sebagai manusia kita perlu menjaga hubungan antara sesama manusia dan tidak memutus tali silaturrahmi antar sesama umat manusia. Ini berkaitan pula dengan pekerjaan kita sebagai abdi negara, sesuai dengan peraturan yang ada, bahwasannya sebagai pegawai yang baik hedaknya meminta izin kepada atasan kita ketika kita akan melakukan kegiatan di luar kantor, karena dengan ini lah keberkahan yang dikatakan dalam hadits diatas akan menaungi kita kemanapun dan dimanapun kita berada.
Hal ini serupa dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ad- Dailany dari Ibn Abbas yang berbunyi :
“Ada 4 do’a yang akan senantiasa di ijabah oleh Allah SWT : 1. Do’a orang yang pergi haji, 2. Do’a orang yang berperang (Jihad Fi Sabilillah) sampai mereka kembali, 3. Do’a orang sakit sampai ia sembuh (orang teraniaya) dan 4. Do’a seseorang kepada saudaranya ketika saudaranya tidak ada/bepergian.”
Dari hadits di atas, kita dapat menarik kesimpulan betapa berharganya hubungan antara sesama manusia, karena hanya dengan mendo’akan keselamatan saudara kita dalam keadaan apapun maka keberkahan dan keselamatan akan bersama kita baik di dunia dan kelak di akhirat nanti (Insya Allah).
Bagaimana Tonggak Sejarah Manajemen dalam Negara Islam
Secara ilmiah, perkembangan manajemen ini muncul diawal terbentuknya industri pada pertengahan abad ke-19. Menurut padangan ilmu intelektual manajemen lahir sebagai tuntutan perlunya pengaturan hubungan diantara masyarakat. Adanya kebutuhan ini untuk menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya terhadap rakyat, yakni mengatur persoalan hidup rakyat dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.
Manajemen pada dasarnya merupakan suatu proses penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran atau tujuan tertentu. Sedangkan Manajemen Islam dapat diartikan sebagai suatu proses yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan untuk mencapai tujuan yang Syariah secara efektif dan efisien.
Manajemen Islam sudah ada sejak masa Rasulullah Sholallohu’alaihiwa sallam. Meskipun secara teori atau istilah tidaklah se”modern sekarang , akan tetapi fungsi dan peran manajemen telah tercermin dan diterapkan dalam kehidupan muslim. Rasul dan para sahabat telah menggunakan manajemen untuk mengatur kehidupan dan bersandar pada pemikiran manajemen Islam yang bersumber dari Nash, Al-Qur’an dan Hadist.
Sayangnya, dunia muslim telah terjajah dengan pemikiran dan aliran politik, ekonomi, sosial, dan budaya negara Barat. Sehingga teori,praktik, istilah, dan perkembangan manajemen dianggap sebagai sesuatu yang baru dan merupakan hasil budidaya intelektual negara-negara maju. Negara muslim hanya mampu menerima, mengkonsumsi dan menerapkan konsep manajemen tersebut dalam kehidupannya, tanpa memandang asas manfaat yang akan didapatkan.
Ada perbedaan mendasar antara manajemen Islam dengan manajemen modern yaitu keduanya berbeda dalam hal tujuan, bentuk, aturan teknis, penyebarluasan dan disiplin keilmuannya. Manajemen Islam lebih khusus lagi mengarah pada manajemen yang diterapkandalam pengembangannya.Pengalaman historis menunjukkan, konsep dasar islam bisa diterapkan dalam aspek peradilan, ekonomi, dan layanan publikmasyarakat, setidaknya hal ini bisa dilihat dari munculnya lembaga-lembaga pemerintahan, undang-undang dan hukum yang diterapkan. Jika tidak ada penyimpangan penerapan konsep dasar islam dalam bidang politik, sosial dan ekonomi, serta adanya perseturuan kekuatan politik dan pasukan perang di masa Bani Abbasiyah, maka pemikiran manajemen islam bisa diterapkan di Negara-negara Islam hingga saat ini.
Pemikiran manajemen dalam Islam bersumber dari nash-nash Alquran dan petunjuk-petunjuk Sunnah. Selain itu, ia juga berasaskan pada nilai-nilai kemanusiaan yang berkembang dalam masyarakat pada waktu tersebut. Eerbeda dengan manajemen konvensional, ia merupakan suatu sistem yang aplikasinya bersifat bebas nilai serta hanya berorientasi pada pencapaian manfaat duniawi semata. Manajemen ini berusaha untuk diwarnai dengan nilai-nilai, namun dalam perjalanannya tidak mampu. Karena ia tidak bersumber dan berdasarkan petunjuk Syariah yang bersifat sempurna, komprehensif dan sarat kebenaran.
Tak disangkal lagi bahwa manajemen adalah suatu hal penting yang nirnycntuh, memengaruhi dan bahkan merasuki hampir seluruh aspek U«hidupan manusia. Perlu dimaklumi bahwa dengan manajemen, manusia , i unpu mengenali kemampuannya berikut kelebihan dan kekurangannya udiri. Manajemen menunjukkan cara-cara yang lebih efektif dan efisien ulam pelaksanaan suatu pekerjaan. Manajemen telah memungkinkan I ua untuk mengurangi hambatan-hambatan dalam rangka pencapaian tujuan. Manajemen juga memberikan prediksi dan imajinasi agar kita il ipat mengantisipasi perubahan lingkungan yang dinamis.
Manajemen kemudian diartikan sebagai suatu rentetan langkah yang terpadu untuk mengembangkan suatu organisasi sebagai suatu sistem yang bersifat sosio-ekonomi-teknis. Sistem adalah suatu kesatuan dinamis yang terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan secara organik. Dinamis berarti bergerak, berkembang ke arah suatu tujuan. Sosio berarti ) mg bergerak di dalam dan yang menggerakkan sistem itu ialah manusia. I konomi berarti kegiatan dalam sistem bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia, dan teknis berarti dalam kegiatan yang menggunakan harta, alat-alat dan cara-cara tertentu.
Selain sebagai alat, manajemen memiliki dua unsur penting lainnya, yakni subjek pelaku dan objek tindakan. Subjek pelaku manajemen tidak lain adalah manajer itu sendiri. Sedangkan objek tindakan mana- jrmen terdiri atas organisasi, sumber daya insani (SDI), dana, operasi/ produksi, pemasaran, waktu dan objek lainnya. Di samping itu, mana- |rtnen juga memiliki empat fungsi standar, yaitu fungsi perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan (actuating) dan pengawasan (controlling).
PENUTUP
Diantara dua peran penting manusia adalah sebagai hamba dan khalifah. Sebagai hamba Allah, posisi manusia adalah sama dengan makhluk-makhluk lain. Hakikat penghambaan adalah ketundukan dan ketaatan total kepada Allah SWT. Hamba Allah yang baik senantiasa ingat bahwa ibadah secara bagus dan istiqomah itulah tujuan dari penciptaanya.
Sebagai khalifah adalah wakil Allah untuk mengelola dan memakmurkan bumi. Karena Allah telah menyediakan semua yang ada di bumi untuk kesejahteraan manusia, sudah seharusnya manusia merawat semua fasilitas dari Allah SWT.
Kedua peran ini tidak bisa dibalik. Dengan kata lain, ketuntasan tugas sebagai hamba akan menentukan tugas keberhasilan sebagai khalifah dan juga manusia yang baik menjadi hamba.
Ditulis Oleh: Adibah Syifa Azizah (Mahasiswa STEI SEBI)