Kisah Anak Desa bisa Kuliah di ITB

3 min read

Kisah anak desa bisa kuliah di ITB jalur BidikMisi – Lawang Agung, sebuah desa tempat saya tinggal bersama keluarga. Tepatnya di pelosok desa Kelurahan Ulu Semong, Kecamatan Ulu Belu, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung. Untuk mencapai lokasi ini dibutuhkan waktu sekitar empat jam perjalanan menggunakan sepeda motor dari Kota Talang Padang, salah satu kota kecil di Kabupaten Tanggamus. 

Di desa yang hanya terdiri dari sekitar tiga puluh rumah ini orang tua saya membangun rumah sederhana, dengan atap berupa delumpai (atap dari bambu), dindingnya dari gribik (bambu yang dianyam), dan tempat tidurnya amben (semacam dipan dari bambu). Sebagian besar bahan yang digunakan terbuat dari bambu maka rumah ini diberi nama gubuk bambu.

Cahaya Harapan dari Gubuk Bambu


Kedua orang tua saya merupakan lulusan pondok pesantren dan tidak mengenyam pendidikan umum. Latar belakang pendidikan orang tua yang rendah, lingkungan masyarakat yang buta huruf, dan hidup serba kekurangan menyebabkan saya tidak didukung untuk bersekolah. Masa kecil dihabiskan untuk membantu ayah di kebun yaitu mencari kayu bakar, menanam, ngored (membersihkan rumput), hingga memetik kopi.

Pada usia delapan tahun, saya mulai berpikir tentang kondisi orang tua yang hidup sebagai buruh tani lebih dari 25 tahun tetapi belum menikmati hidup yang cukup. Karena itu, muncul perasaan gelisah bahwa saya harus mencari jalan lain untuk mengangkat perekonomian keluarga dan menyelamatkan masa depan saya serta adik-adik. Kemudian hidayah dan motivasi itu pun hadir untuk saya memutuskan bersekolah. Tidak ada pilihan lain yang lebih baik untuk memutus mata rantai kemiskinan selain menuntut ilmu di sekolah.

Menginjak usia sembilan tahun saya meminta untuk sekolah di SDN 1 Sirnagalih, SD yang berjarak sekitar tujuh kilometer dari rumah. Tidak mudah bagi saya untuk sekolah di sini, selain harus meyakinkan kedua orang tua, saya juga harus mempersiapkan fisik karena setiap hari harus menempuh perjalanan sepanjang empat belas kilometer dengan jalan kaki. 

Di sekolah inilah saya memulai perjuangan di dunia pendidikan. Setiap hari saya harus bangun pukul 04.00 WIB, mempersiapkan sarapan sendiri dan harus berangkat pukul 05.30 WIB agar tidak terlambat tiba di sekolah. Berjalan kaki seorang diri di jalan setapak melewati perkebunan, semak belukar, dan menyeberangi sungai telah menjadi aktivitas rutin saya setiap hari. 

Berangkat dari rumah dengan sepatu dijinjing, berbekal sebungkus nasi oyek (nasi dari singkong), dan sebilah pisau kecil di dalam tas lesuh milik saya. Hal ini dilakukan karena sepanjang perjalanan kondisi rerumputan di jalan masih dibasahi oleh embun dan juga harus menyeberangi beberapa sungai. Kemudian saya baru dapat mengenakan sepatu ketika telah menyeberangi sungai terakhir, sekitar satu kilometer dari sekolah. Sedangkan sebilah pisau kecil yang saya gunakan bertujuan untuk memotong daun pisang atau daun keladi untuk payung ketika terjadi hujan. Maklum saya tidak mampu untuk membeli payung. 

Setiap hari saya mendapat ejekan dari temanteman atau pun warga karena di usia sembilan tahun saya baru duduk di kelas satu sekolah dasar. Tiba di sekolah dengan kondisi yang begitu lelah ditambah dengan sambutan berupa ejekan adalah suatu hal yang menyakitkan, inilah ujian terberat saya pada awal menuntut ilmu di SD. 

Ejekan seolah menjadi vitamin penyuplai nutrisi semangat belajar sehingga pada semester awal saya memperoleh peringkat ke-5 tetapi setelah itu hingga lulus saya selalu mendapatkan peringkat ke-1. Meskipun sekolah, saya tetap bekerja membantu orang tua dengan memelihara kambing. Sepulang dari sekolah saya harus mencari rumput untuk 15 ekor kambing. 

Untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya, ternyata orang tua saya tidak mengizinkan. Segala upaya telah dilakukan untuk meyakinkan orang tua, sampai pada akhirnya saya diizinkan merantau setelah saya meyakinkan bahwa saya tidak akan meminta biaya untuk sekolah, saya akan menjaga shalat dan ibadah lain selama di perantauan dan saya akan selalu berusaha untuk berprestasi.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup ketika SMP, seluruh waktu luang saya gunakan untuk bekerja serabutan, mulai dari buruh di perkebunan palawija hingga mengajar ngaji dan privat. Rasa lelah, malu, dan minder terkadang menghampiri namun saya terus mencari alasan untuk semangat melakukan segala usaha ini. 

Alhasil, saya selalu juara umum. Selain itu saya juga memperoleh juara di berbagai kompetisi seperti lomba cerdas cermat dan olimpiade, dari tingkat kabupaten hingga tingkat provinsi. Di kegiatan non akademik, saya menjadi pengurus ROHIS dan OSIS. Puncaknya adalah saya memperoleh anugerah sebagai lulusan terbaik SMPN 1 Gisting pada tahun 2011. Dari prestasi inilah saya dapat menabung untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat SMA. 

Dengan segala keterbatasan, saya dapat melanjutkan sekolah di SMAN 3 Bandar Lampung. Berjuang dengan tidak didukung oleh keluarga merupakan tantangan yang sangat berat. Untuk memenuhi biaya pendidikan dan biaya hidup saya harus banting tulang seorang diri. 

Di tahun pertama dan kedua, saya bekerja sebagai petugas taman milik salah satu pejabat Kota Bandar Lampung dan satpam shift malam di salah satu perusahaan kuliner. Belajar dan mengerjakan tugas sekolah hanya bisa dikerjakan di pos satpam. Setelah berjalan dua tahun saya memutuskan berhenti dari pekerjaan karena harus fokus belajar untuk menghadapi ujian nasional dan seleksi masuk perguruan tinggi. 

Setelah berhenti dari pekerjaan, biaya sekolah dan kebutuhan hidup dipenuhi dari beasiswa dan bantuan dari para dewan guru. Sedangkan untuk kebutuhan lainnya, saya menjadi marbot di masjid sekolah. Terkadang saya merenung, betapa susahnya untuk bisa sekolah sementara banyak teman-teman bermalas-malasan dan menyia-nyiakan pengorbanan orang tuanya. 

Rasa rindu dengan ayah dan ibu, ingin bersenda gurau dengan adik-adik, dan menatap senyum mereka terkadang menghampiri hingga butir tetesan air mata tidak terbendung. Tetapi saya harus menghapus air mata tersebut dan terus berjuang demi cita-cita besar saya, yaitu memutus rantai kemiskinan keluarga, untuk mengangkat orang tua dan adik-adik serta warga di desa saya. 

Untuk mempercepat langkah dalam menggapai cita-cita, saya selalu berusaha untuk bisa belajar di lembaga pendidikan yang terbaik, salah satunya kuliah di Institut Teknologi Bandung. Hampir semua orang meragukan bahwa saya bisa melanjutkan ke ITB, termasuk teman-teman bahkan para dewan guru. Seluruh potensi saya kerahkan, kerja keras saya lakukan, dan hal terpenting adalah saya selalu menyelipkan di setiap doa agar Allah SWT mempermudah langkah saya. 
Akhirnya, keajaiban itu pun datang, saya diterima di Institut Teknologi Bandung dengan memperoleh beasiswa Bidikmisi. Ucapan selamat dan ungkapan rasa kagum mengalir dari mana-mana dan ini adalah bukti yang kesekian kalinya bagi saya bahwa tidak ada cita-cita yang tidak mungkin tercapai jika kita sungguh-sungguh memperjuangkannya. Saat ini seluruh keluarga telah mendukung penuh, besar harapan mereka bahwa saya mampu menjadi cahaya bagi keluarga, penghuni gubuk bambu.  

Penulis : Rofikul Umam 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Seedbacklink