Maqashid KhassahMaqashid Khassah – Al-maqasid al-khassah merupakan makna dan kemaslahatan yang ada dalam sebuah hukum syari’at yang sifatnya khusus, seperti adanya tujuan tidak menyakiti wanita dalam masalah keluarga, disyari’atkannya hukuman dengan tujuan membuat jera, atau tujuan tidak adanya penipuan dalam masalah hukum muamalah.
Maqashid Khassah
Diantara maqashid teersebut adalah sebagai berikut :
1. Maqhashid Larangan Riba (Q.S. Ali Imran:130)
Allah menegaskan bahwa riba adalah terlarang dan diharamkan dalam islam, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa ayat Al-Quran, diantaranya firman Allah Swt.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya mendapat keberuntungan.” (Q.S Ali-Imran:130)
Maqashidnya adalah mengajak manusia untuk memiliki empati dan kepedulian sosial dan menjauhkan diri dari praktik ribawi yang mengambil hak milik orang lain secara tidak halal.
2. Maqashid Larangan Riba (Q.S. Al-Baqarah:275)
ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ
Arti : “Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,” (Q.S. Al-BAqarah : 275)
Para ulama berpendapat tentang riba dalam ayat diatas, sebagian ulama seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Muawiyah berpendapat bahwa maksud riba dalam ayat diatas adalah riba menurut arti bahasa yaitu Riba jahiliyah (riba qardh)
Sedangkan menurut mayoritas ulama, maksud riba dalam ayat diatas adalah riba dalam jual beli. Pendapat ini berasal dari Aisyah, Abi Said Al-Khudri, dan lain-lain.
- Maqashid Perbedaan antara Jual Beli dan Riba.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 275, Allah SWT. membedakan antara jual beli dan riba. Perbedaan antara jual beli adalah perbedaan antara kondisi pembeli dan peminjam, karena kebutuhan peminjam untuk menutupi hajat diri dan keluarganya. Sedangkan pembeli melakukan transaksi ini karena ada kelebihan harta.
Jadi pembeli itu indicator dari kecukupan, sedangkan peminjam itu indicator dari kefakiran, oleh karena itu allah mengharamkan riba karena mengekspolitasi hajat orang fakir dan sebaliknya Allah menghalalkan jual beli untuk membantu orang yang membutuhkan.
4. Maqashid Larangan Riba Qardh
Riba Qardh adalah riba yang terjadi pada transaksi utang piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (Al-Ghunmu bil ghurmi). Riba qardh (riba jahiliyah/riba nasi’ah) itu diharamkan menurut Al-Qur’an. Oleh karena itu, seluruh ulama – tanpa kecuali – telah sepakat bahwa riba al-qardh itu diharamkan dalam islam.
Terdapat dalam surah Al-Baqarah 278 “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah SWT. dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman” (Q.S. Al-Baqarah : 278) . berdasarkan dalil diatas yang shahih dan sharih (jelas dan tegas) menunjukkan bahwa riba qardh (riba jahilyah/riba nasi’ah) ini termasuk tsawabit dan qath’iyat (hal yang prinsipil dan fundamen) dalam agama ini.
5. Maqashid Larangan Riba Buyu’
Riba Buyu’ adalah riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang beda kualitas (mitslan bi mitslin), sama kuantitasnya (sawa-an bi sawa-in) dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin).
Keharaman riba buyu’ memiliki maqashid (tujuan) yaitu menhindarkan gharar dalam transaksi jual beli atau pertukaran semacam ini mengandung gharar, yaitu ketidakadilan bagi kedua belah pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan.
Riba qardh itu diharamkan dengan dalil yang qathiyu dilalah dan dengan konsesus jima’ para ulama. Sebaliknya, riba buyu ini beda dengan status hukumnya dimana para ulama berbeda pendapat tentang status hukum riba buyu’ ini. Perbedaan mereka bersumber dari perbedaan mereka tentang ‘illat barang-barang ribawi.
6. Maqashid larangan praktik talaqqi rukban
Talaqqi Rukban adalah pembelian barang dengan cara mencegat orang desa sebelum sampai di pasar agar ia dapat membeli barang dengan harga murah. Rasulullah SAW. menegaskan bahwa talaqqi rukban adalah terlarang dan diharamkan sebagaimana dalam hadits Rasulullah SAW :
نَهَى النبي صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ عن تَلَقى الرُّكْبَان
Yang artinya “Rasulullah SAW, melarang talaqqi rukban”
Penjelasan dari hadis diatas Ar-rukban adalah pihak yang mengimpor barang sedangkan talaqqihim maksudnya pihak yang menemui penjual komoditi dan membelinya dari mereka sebelum penjual masuk pasar.
Jadi dilarangnya talaqqi rukban karena terdapat hikmah didalamnya yakni untuk melindungi kemaslahatan umat manusia sehingga tidak menimbulkan kerugian dari salah satu pihak ataupun dari kedua belah pihak.
7. Maqashid Larangan Gharar
Menurut ahli fikih, gharar adalah sifat dalam muamalah yang menyebabkan sebagian rukunnya tidak pasti. Secara operasional, gharar bisa diartikan kedua belah pihak dalam transaksi tidak memiliki kepastian terhadap barang yang menjadi objek transaksi baik terkait kualitas, kuantitas, harga, dan waktu penyerahan barang, sehingga pihak kedua dirugikan. Gharar ini terjadi bila mengubah sesuatu yang pasti menjadi tidak pasti. Misalnya adalah akad jual beli anak kambing yang masih dalam kandungan.
Sesungguhnya setiap transaksi dalam islam harus didsarkan pada prinsip kerelaan antara kedua belah pihak (sama-sama ridha). Mereka harus sama-sama meiliki informasi yang lengkap, sehingga tidak ada pihak yang merasa dicurangi.
8. Maqashid dalam Hadits Tentang Gharar
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah (dengan melempar batu) dan jual beli gharar.” (HR Muslim)
Dalam hadits diatas Rasulullah SAW. melarang bai’ al-gharar dan bai’ al-hashash. Hadits tersebut memberikan contoh menjual buah yang belum tampak wujudnya. Maka beberapa praktik jual beli yang sebenernya boleh itu menjadi terlarang seperti menjual biji-bijian yang masiih ada didalam tanah.
9. Maqashid Larangan Bai’ Al-‘Inah
Bai’ al-‘inah adalah seseorang membeli barang secara tidak tunai, dengan kesepakatan, akan menjualnya kembali kepada penjual pertama dengan harga lebih kecil secara tunai.
Bai’ al-‘inah bisa didefinisikan dari aspek pembeli dan dari aspek penjual. Dari aspek pembeli, bai’ al-‘inah adalah seseorang membeli barang secara tidak tunai, dengan kesepakatan, akan menjualnya kembali kepada penjual pertama dengan harga lebih kecil secara tunai.
Sedangkan dari aspek penjual, bai’ al-‘inah adalah seseorang menjual barang secara tunai dengan kesepakatan akan membelinya kembali dari pembeli yang sama dengan harga yang lebih kecil secara tidak tunai.
Bai al-‘inah termasuk transaksi yang dilarang, sesuai dengan hadis Rasulullah Saw.:
“Ibu Umar meriwayatkan, bahwa Rasulullah Saw. bersabda : “Apabila manusia kikir akandinar dan dirham, melakukan jual beli ‘inah, mengikuti ekor-ekor sapid an meninggalkan jihad dijalan Allah Swt. akan menurunkan musibah dan tidak akan menarik kembali kecuali mereka kembali komitmen dengan agama mereka.”(HR Imam Ahmad)
Larangan tersebut memiliki maqashid yaitu menghindarkan transaksi hilah ribawiyah (manipulasi) untuk melakukan riba yang terlarang atau praktik simpan pinjam berbunga dengan modus jual beli seperti yang dijelaskan dalam standar syariah AAOIFI :
“tidak termasuk dalam hilah ribawiyah, seperti bai’ al-‘inah atau hilah ribawiyah”
10. Maqashid dalam Perbedaan Ulama tentang Bai’ al-‘inah
Bai al-‘inah termasuk transaksi yang dilarang sebagimana ditegaskan oleh mayoritas sahabat, tabi’in, hanafiyah, malikiyah, dan hanbilah, sebagaimana penegasan mereka :
Al-Marghinani, salah seorang ulama mazhab hanafi menjelaskan :
Al-Marghinani berkata : Dan barangsiapa yang membeli seorang hamba sahaya 1000 dirham, baik tunai maupun tidak tunai. Setelah diterimanya (qabdh), kemudian ia menjualnya kembali kepada penjual (pertama) seharga 500 sebelum harga akad yang pertama dibayar tunai, maka akad jual beli yang kedua itu hukumnya tidak boleh”.
Diulis Oleh: Ahmad Zakiy (Mahasiswa STEI SEBI)