Kisah inspiratif dari seorang Mahasiswa – Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya”, inilah sepenggalan lagu Indonesia Raya yang pernah membuat seorang anak desa meneteskan air mata. Siapa yang tidak terharu menyanyikan lagu kebangsaan di negeri orang dan disaksikan oleh audience dari berbagai negara. 26 Agustus 2014 saat anak desa itu menyanyikannya di gedung Kementerian Komunikasi dan Multimedia Malaysia saat berhasil menjadi delegasi Indonesia di acara selevel ASEAN. Perkenalkan anak desa itu, Muhammad Aziz Ali Mutia sang pejuang mimpi yang tumbuh dalam keterbatasan ekonomi.
Berbicara tiga tahun lalu, aku akan selalu mengingat perjuangan untuk menaklukkan impianku. Aku tinggal bersama kedua orang tuaku di Desa Gerduren sekitar 30 km dari Purwokerto. Aku dan teman-teman harus berjalan 2 km menyeberangi sungai, melewati pemakaman, sawah dan permukiman untuk mencapai jalan raya sebagai akses menuju ke sekolah.
Bermimpilah dengan Aksi dan Iringan Doa
Ketika aliran sungai membesar kami harus menggunakan perahu yang dikemudikan dengan tenaga manusia. Ketika banjir datang maka kami harus memutar arah berjalan hingga 4 km melewati jembatan tua peninggalan Belanda untuk menuju sekolah kami. Kondisi desa kami memang benar-benar terisolir walaupun masih berada di pulau Jawa. Capek? Tentu saja, tetapi inilah perjuangan.
Sebagian besar masyarakat desaku adalah seorang petani. Namun infrastruktur pertanian di desaku masih sangat terbatas sehingga banjir dan kekeringan sering melanda sawah di desaku. Petani hanya memanen padi setahun sekali, panen kedua sering gagal panen karena kekeringan. Akibatnya masyarakat yang tinggal di bawah garis kemiskinanpun cukup banyak di desaku.
Alhamdulillah aku memiliki lingkungan yang mendukung untuk menggapai masa depan di SMA sehingga aku tidak terpengaruh lingkungan desaku yang masih tertutup dengan dunia luar tak terkecuali dengan pendidikan tinggi. Aku juga sangat bersyukur kedua orang tuaku sangat terbuka mengenai pentingnya pendidikan.
“Ndo, kowe olih kuliah asal bisa mbiaya dewek kaya mbamu (Ndo, kamu boleh kuliah asal bisa membiayai sendiri seperti Mbakmu),” itu adalah pesan mamahku yang selalu aku ingat. Yak pantas sajalah bapakku yang hanya seorang petani dan mamah yang hanya seorang pembuat nira tak akan mampu membiayai kuliah apalagi di ITB yang saat itu uang masuknya mencapai Rp 55 juta.
Aku pilih ITB sebagai pilihan utama studiku sejak kelas XI. Aku percaya apa yang dikatakan Andrea Hirata “Bermimpilah maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu.” Mimpi-mimpi itu aku visualisasikan di buku mimpi, di meja belajar, di buku catatan, facebook, dan berbagai media sosial lainnya.
Aku sadar aku berada di sekolah biasa bahkan bukan di sekolah unggulan sehingga aku harus berjuang mati-matian. Apalagi apabila dilihat dari sejarah hanya ada 3 kakak kelas yang diterima di ITB. Berbekal buku-buku SNMPTN yang aku kopi dari teman-teman, aku berjuang untuk menaklukkan SNMPTN tulis. “Man Jadda wa Jada” aku percaya bahwa siapa yang bersungguh-sungguh maka dia akan mendapatkannya.
Perjuangan kedua orang tuaku membiayai ketiga anaknya sekolah hingga SMA menjadi motivasi untukku. Mamah harus menjual beras setiap pagi untuk uang saku kami, bapak harus pergi ke sawah baik saat hujan maupun panas demi mendapatkan sesuap nasi untuk kami. Belum lagi saat mamah harus pontang-panting cari pinjaman untuk membiayai SPP kami. Sungguh kondisi ini suntikan motivasi yang paling ampuh ketika aku sedang terjatuh.
Sebelum shubuh aku selalu dibangunkan mamah untuk sholat malam dan belajar. Sungguh di waktu sepertiga malam ini benar-benar waktu dimana aku bisa mencurahkan isi hatiku kepada-Nya. Aku percaya walaupun aku telah berusaha semaksimal mungkin tetapi apabila Allah tidak mengizinkan maka mimpi-mimpi itu tidak akan pernah terwujud.
26 Mei 2012, satu hari setelah usiaku genap berusia 18 tahun, SNMPTN undangan resmi diumumkan dan SAPPK ITB menjadi hadiah ulang tahun terindah yang pernah aku peroleh. Sujud syukur tak lupa aku panjatkan terlebih aku juga mendapatkan Bidikmisi sehingga tidak membayar sepeserpun untuk melanjutkan kuliah.
Tetesan air mata mamah juga menjadi momen yang sangat mengharukan. Sungguh setelah ada kesusahan pasti ada kemudahan. Mimpi, Usaha dan Doa inilah tiga kunci utama yang aku percaya akan memberikan arah pada hidupku. Hingga saat ini tiga prinsip tersebut tetap menjadi peganganku untuk menjalani hari-hari di ITB.
Sekarang ingin segera mungkin aku selesaikan studi ini. Aku ingin berkontribusi membangun kampung halamanku yang telah lama menunggu perbaikan. Aksesibiltas, infrastruktur pertanian menjadi prioritas pembangunan di desaku. Aku kuliah dari tax payer sehingga bagiku kesejahteraan masyarakat terutama di desaku adalah yang utama. Terakhir dariku, sedikit aku sampaikan sebuah ayat yang selalu menemani hari-hariku,
“Dan bahwasanya seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS. An-Najm: 39)
Dan ingat, kita memiliki waktu yang sama, yang membedakan adalah bagaimana kita memprioritaskan kegiatan positif dalam kehidupan kita. Masa depan ada di tanganmu, lakukan sekarang karena 5 menit yang lalu adalah masa lalu.
Penulis : Muhammad Aziz Ali Mutia