Memahami arti Rahn Tasjily & memahami jaminan mudharabah dan musyarakah – Dengan nama allah swt yang maha pengasih maha penyayang. Apabila manusia di berikan suatu jaminan dan memahami kepentingan dalam hal hal yang diperlukan dalam menjamin dan jamin yang menurut ajaran yang berlaku dalam agama islam.maka manusia itu wajib untuk menuntut ilmu yang benar yang sesuai syariah.
- Jaminan dalam Akad Mudharabah dan Musyarakah
Fatwa DSN menegaskan bahwa akad-akad investasi yang termasuk akad-akad amanah itu tidak boleh dijamin keuntungannya. Dalam Fatwa DSN MUI No. 08/DSN-MUI/IV/2000 dijelaskan:
Mudharabah adalah akad kerja sama suatu usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (malik, shahib al-mal, LKS) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak kedua (‘amil, mudharib, nasabik) bertindak selaku pengelola, dana keuntungan usaha dibagi di antaramereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak Musyarakah adalah pembiayaan berdasarkan akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Pada prinsipnya dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, maka LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ke-3. Jaminan hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah dispekati Bersama.
Pada prinsipnya, akad rahn dibolehkan hanya atas utang-piutang (al dan) yang antara lain timbul karena akad qardh, jual-beli (al-bai) yang tidak tunai, atau akad sewa-menyewa (ijarah) yang pembayaran ujrahnya tidak tunai ;
Pada prinsipnya dalam akad amanah tidak dibolehkan adanya barang jaminan (marhun); namun agar pemegang amanah tidak melakukan penyimpangan perilaku (moral hazard), Lembaga Keuangan Syariah boleh meminta barang jaminan (marhun) dari pemegang amanah (al-Amin, antara lain syarik; mudharib, dan musta’jir) atau pihak ketiga
- Rahn Tasjily
Dalam Fatwa DSN_MUI No: 68/DSN-MUI/III2008 tentang Rahn Tasjily, dijelaskan tentang ketentuan hukum rahn tasjil sebagaimana dalam fatwa berikut:
a. Rahn Tasjily -disebut juga dengan Rahn Ta’mini, Rahn Rasmi, atau Rahn Hukmi- adalah jaminan dalam bentuk barang atas utang, dengan kesepakatan bahwa yang diserahkan kepada penerima jaminan (murtahin) hanya bukti sah. kepemilikannya, sedangkan fisik barang jaminan tersebut (marhun) tetap berada dalam penguasaan dan pemanfaatam pemberi jaminan (rahin)
b. Penyerahan barang jaminan dalam bentuk bukti sah kepemilikan atau sertifikat tersebut tidak memindahkan kepemilikan barang ke Murtahin.
Pada dasarnya, dengan akad rahn, maka marhun itu dikuasa oleh murtahin sebagai jaminan atas utang agar mudah dicairkan (dieksekusi) sesuai dengan firman Allah Swt.:
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). (QS Al-Baqarah [2]: 283)
Ketentuan ini memiliki maqshad (tujuan) yaitu agar marhun bisa dieksekusi oleh murtahin. Hal yang sama tidak bisa dilakukan jika marhun tidak diserahkan ke murthain dan masih di tangan rahin.
Tetapi hadis Rasulullah Saw. tidak menjelaskan teknis farihanun maqbudhah, maka standar yang berlaku adalah ‘urf sesual dengan kaidah fikih;
“Setiapa ketentuan syariah yang masih mutlak (umum) maka yang menjadi rujukan adalah urf’ (tradisi)”.
Berdasarkan maqashid di atas, maka bukan marhun yang harus ada di tangan murtahin tetapi bagaimana marhun itu bisa dijadikan jaminan dan bisa dieksekusi.
Menurut tradisi, bukti kepemilikan seperti STNK dan SK itu bisa dijadikan jaminan. Namun aset yang tidak ada bukti kepemilikan seperti emas itu yang bisa dijadikan jaminan adalah emas.
Terimakasih sudah membaca dan saya harapkan ini bermanfaat buat para pembaca dalam kedepanya mengenai soal jamin enjamin dalam urusan dunia.
Ditulis Oleh: M.Zahid Nurasyam (Mahasiswa STEI SEBI)